468x60 Ads

Bidadari di Dalam Kendi. Cerpen Ketiga Belas dalam Buku Kumpulan Cerpen Lalat dari Jerman










Bidadari di Dalam Kendi

Aris adalah putra pertama Pak Hafid, hasil perkawinannya dengan Ida Safitri.
Sebagai anak Aris tergolong bandel. Sering menentang perintah orang tuanya. Ibunya
sehari-hari hanya terbaring di tempat tidur karena lumpuh.
Di keluarga Pak Hafid ada satu lagi anak lelaki, namanya Asif. Sebenarnya dia adalah putra Pak Tamam, saudara Pak Hafid yang merantau ke Samarinda bersama istrinya. Sejak kecil Asif oleh orang tuanya dititipkan di keluarga Pak Hafid. Sekalian untuk menemani putra satu-satunya Pak Tamam yang masih kecil. Berbeda dengan Arif, Asif tergolong anak yang patuh. Dan kepatuhan serta ketaatan itulah yang membuat Pak Hafid tampak lebih menyayangi keponakannya dibanding anak kandungnya sendiri. Arif pun salah paham. Ia menganggap perlakuan orang tuanya terhadap Asif sebagai bentuk pilih kasih. Dan rasa itu berkembang menjadi perasaan dengki pada saudara sepupunya itu. Perasaan iri tersebut bahkan sering terwujud dalam usaha menyakiti Asif secara fisik. Namun Asif berusaha sabar dengan bermacam perlakuan buruk yang dia terima.         
Ketika kedua orang tuanya pulang dari rantau, Asif baru terbebas dari perlakuan buruk saudara sepupunya. Ia pun meninggalkan keluarga Pak Hafid dan kembali tinggal bersama kedua orang tua kandungnya.
***
MATAHARI masih malu-malu menampakkan diri. Hanya mengintip di sela-sela kabut pagi dengan sinarnya. Embun berangkulan mesra dengan punggung daun-daun pisang di depan rumah Arif. Sepagi itu ia sudah hendak berangkat ke sekolah.
“Loh, Sif, apa tidak sarapan dulu. Sepagi ini kok sudah mau berangkat?” tanya ibunya
“Asif sarapan di kantin sekolah saja, Bu” jawab Asif
 “Ada janji dengan teman.” Ia pun berangkat dengan sepatu Pro Att yang melekat di kedua telapak kakinya. Sekitar dua puluh menit ia sampai di depan gerbang sekolah. Ia celingukan, mencari penjaga yang masih belum membuka pintu gerbang. Sambil menunggu gerbang buka, Asif menuju kantin di sekitar sekolah. Ia lalu masuk ke sebuah warung nasi yang bertuliskan “Dapur Nenek”.
Nama itulah yang membuat dirinya tertarik untuk masuk ke warung itu.
“Nek, sarapan,”
“Sarapan apa, Nak? nasi pecel atau lodeh?” tanya seorang perempuan tua yang pastilah pemilik warung itu
“Pecel saja, Nek” Asif lalu menyantap sepiring pecel pesanannya. Setelah selesai sarapan ia menuju ke sekolah. Saat itu tepat pukul tujuh, dan gerbang sekolah pastilah telah sejak tadi dibuka.
“Maaf, Rif aku agak telat. Tadi aku habis sarapan di warung ‘Dapur Nenek’.” Ucap Asif kepada teman sekelasnya, Rifqi saat telah masuk ke kelas
“Kok tidak mengajak aku, Sif? Aku juga ingin makan di sana. Apalagi kalau yang melayani cucunya ha..ha...”
“Memangnya nenek itu punya cucu, dan kamu kenal?” tanya Asif menyelidik
“Ya jelas kenal lah. Cucu nenek itu empat. Namanya Dewi, Diva, Dita dan Dina.”
“Banyak amat! memangnya kau ingin dilayani keempatnya saat makan di sana?”
“Kalau aku yang cukup satu saja. Aku kan orangnya dermawan.”
“Dermawan? Maksudmu?” Asif belum mengerti
“Ya, Dewi buatku saja. Sedang tiga sisanya buat kamu”
 “Oh, oke oke. Aku sepakat. Aku yakin, dalam dua bulan ketiga cewek itu pasti menjadi milikku,” ucap Asif ketus.
***
SEPERTI hari-hari sebelumnya, Asif berangkat ke sekolah pagi-pagi sekali. Dan ibunya yang bertanya selalu mendapat jawaban yang sama, ada janji sama teman. Penampilan Asif tidak seperti biasanya, lebih rapi. Tatanan rambutnya tertata, parfum Casablanka ia semprotkan di baju seragamnya. Di saku bajunya tergantung kartu identitas.
“Ada-ada saja tingkah anak SMA jaman sekarang.” Gumam ibunya saat Asif berangkat Ketika tiba di sekolah dan pintu gerbang belum dibuka, Asif langsung menuju ke
“Warung Nenek”.
“Ini pecelnya, Nak. Teh hangatnya masih dibuatkan cucu saya,” kata nenek saat menyodorkan pesanan Asif. Perempuan itu kembali ke belakang Mendadak Asif merasa sangat gembira. Ia merasa keinginannya akan segera terwujud, mengenal salah satu dari cucu pemilik warung yang pernah diceritakan Rifqi.
“Ini teh hangatnya, Mas,”
“Terima kasih,” jawab Asif yang kehilangan semangatnya. Ternyata yang mengantarkan teh pesanannya adalah cucu laki-laki nenek yang masih duduk di bangku kelas dua SD.
“Lho, photo itu kok nggak sama dengan wajah kakak?” tanya bocah itu setelah menaruh gelas di depan Asif Pandangan Asif mengikuti arah jari telunjuk bocah itu. Mengarah ke saku baju seragamnya.
“Ha!!”
Karena terburu-buru Asif salah membawa ID Card. Kartu pengenal yang ia gantungkan di sakunya bukanlah miliknya, tapi kepunyaan ayahnya saat menjadi karyawan di Samarinda. Untung bukan cucu perempuan nenek yang melihat, gumamnya. Ia lalu menyambar kartu milik ayahnya lalu memasukkannya ke saku celana.
“Apes benar aku hari ini,” ucap Asif setelah keluar dari warung nenek, dan mendapati gerbang sekolah telah terkunci. Ia pun teringat pribahasa yang pernah diajarkan gurunya, sudah jatuh ketiban tangga. Namun tidak selamanya Asif apes. Suatu hari ia berhasil menemui salah satu cucu Nenek. Ia juga memberikan secarik kertas pada gadis itu.
Keesokan harinya gadis itu memberi balasan kepada Asif dengan pesan, surat balasannya tidak boleh dibuka sebelum terkumpul lima. Gadis itu meminta Asif menyimpan dulu semua surat yang diterima, dan Asif dengan hati berbunga setuju. Sepulang sekolah Asif mencari tempat aman untuk menyembunyikan suratnya. Ia menuju gudang tempat menyimpan barang yang tidak dipakai. Ia menganggap tempat itu aman. Ia lalu mencari sebuah lemari, tapi di gudang yang berdebu itu tak ada sebuah lemari. Saat matanya menatap bagian pojok gudang ia melihat benda yang biasa digunakan tempat menyimpan air minum, Kendi. Ia pun mengambilnya.
“Surat-surat Dina akan kusimpan semua di kendi ini. Kalau telah terkumpul lima maka kendi ini akan kupecah.” Kata Asif setelah membawa kendi tersebut ke dalam kamarnya.
“Sif, tolong bantu bapakmu mengeluarkan kurungan.” Kata ibunya sambil mengetuk pintu. Asif gugup. Ia tidak ingin ibunya tahu apa yang baru saja ia lakukan. Asif mencari tempat untuk menyembunyikan kendi itu. Ibunya terus mengetuk pintu dan Asif menaruh kendi itu di atas lemari baju.
“Ya Bu, sebentar,”
“Kok lama sekali, Sif. Itu burung Jalak tolong bawa ke depan rumah. Akan diberi makan dan minum oleh bapak.” Kata bapaknya sambil membawa dua kurungan yang berisi burung Podang dan Kenari.
“Ya pak,” jawab Asif.
***
SUATU pagi Asif kembali menunggu di depan warung nenek. Tidak seperti biasa, pagi itu warung tertutup rapat. Sepuluh menit telah berlalu dan warung masih belum dibuka. Asif mulai penasaran. Ia lalu mencoba mencari informasi. Seorang tetangga menjelaskan bahwa nenek dan semua cucunya sedang di Rumah Sakit. Nenek diopname karena sakit kepala yang berkepanjangan dan telah menjalar ke sarafnya. Bersama Rifqi Asif berangkat ke rumah sakit.
Waktu itu hari Minggu. Setelah bertanya pada petugas di ruang administrasi keduanya menuju tempat nenek dirawat. Langkah kedua remaja itu cepat. Di perjalanan Asif terkejut, saat dilihatnya sebuah kursi dorong yang diikuti keluarga. Di atas kursi itu seorang perempuan yang tak asing bagi Asif, Ida Safitri.
 “Sif!” suara seseorang yang tangannya menepuk pundak Asif. Keduanya pun bercakap-cakap.
“Sif !” ucap Rifqi “lihat itu Dina sedang berjalan ke sini”   
Dina mengajak Asif dan Rifqi masuk ke tempat neneknya dirawat. Tiba-tiba nenek itu berkata kepada cucunya
“Aku ingin ke Samarinda. Aku kangen bapak ibumu”
“Ya, Nek. Kalau nenek sudah sembuh kami akan mengantar nenek ke sana,” ucap salah satu cucunya.
Dan nenek itu tersenyum bahagia.
***
SETELAH dua minggu nenek itu bisa dibawa pulang. Keadaannya telah pulih. Dan sesuai rencana seluruh keluarga nenek akan ke Samarinda. Dina menyuruh Asif menemuinya di bandara.. di situ surat kelima akan diberikan..
Sebelum keluarga naik pesawat, Jamal menghampiri Asif dan mengulurkan sesuatu.
“Kak, ini ada surat dari Mbak Dina.” Kata bocah itu. Setelah pesawat lepas landas Asif membawa surat itu pulang. Namun sesampainya di rumah Asif merasakan hatinya remuk redam. Seperti ada petir yang tiba-tiba menyambar. Kendi tempat ia menyimpan surat-surat dari Dina telah terisi. Ibu Asif memenui kendi itu dengan air saat ayahnya butuh tempat untuk memancurkan ke tempat minum burung Jalak. Surat dari bidadari belum sempat dia baca, tapi kini sudah hancur dilalap air. Dalam pikirannya Asif membayangkan Bidadari di dalam kendi itu tenggelam sudah. Dalam kekecewaannya Asif membuka surat
kelima dari Dina. Ia berharap lembaran itu akan merangkum keempat surat sebelumnya. Namun alangkah bergetar perasaan remaja itu, saat tahu bahwa secarik kertas itu berisi pesan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Buat Asif
Sekeping hati wanita sangatlah halus dan perasa. Namun sekarang telah tergores dan meninggalkan luka. Luka yang sangat menyiksa bagi saya seorang wanita. Hatiku sakit saat kedua kakakku memberitahu tentang laki-laki sepertimu. Aku tak habis fikir, kenapa kau berusaha mencintai dua kakakku. Aku takut seandainya kau benar-benar menjadi suamiku. Cinta kita sebagai suami-istri sirna saat ada wanita lain yang lebih baik dariku. Kau ternyata serakah dalam mencintai wanita. Tiga hati wanita ingin kau miliki sendiri. Tidak mungkin!!!
Maaf kalau hatimu akan tergores dengan penjelasanku ini. Ketahuilah bahwa selama ini aku hanya berpura-pura mencintaimu. Agar hatimu mendapat sedikit hiburan dari rasa sakit karena penolakan Mbak Diva dan Mbak Dita. Surat kelimaku ini adalah surat terakhir yang pernah kau terima. Dari seorang gadis yang hatinya menanggung luka. Aku tidak akan pernah kembali untuk menemuimu. Kami akan menetap di Samarinda. Mungkin untuk selamanya. Aku akan di sana bersama kedua orang tuaku.
Salam
Dina.
                                                                                                                   Gresik 2013
       



Tentang Penulis : Agus Ibrahim lahir 10 Desember 1990 di desa Sambungrejo, Rengel, Tuban Jawa Timur. Putra pertama dari pasangan H. Syuhada’ dan Hj. Siti Romadlonah. Ia menempuh pendidikan dasar di MI Mambaul Islam Losari Soko Tuban (lulus 2003), MTs Mambaus Sholihin Suci Gresik (lulus 2006), MAK Mambaus Sholihin (lulus 2009). Setamat MAK, ia masuk Fakultas Syari‘ah Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah di Institut Keislaman Abdullah Faqih (INKAFA) Suci Manyar Gresik (Lulus 2013).

          Dalam organisasi ia pernah menjadi Sekretaris OSIS MA Mambaus Sholihin periode 2008-2009, anggota Departemen Bahasa Arab periode 2009- 2010, Sekretaris Pusat OSPMS Pondok Putra Mambaus Sholihin periode 2010-2011. Di bidang Jurnalistik ia pernah menjadi Redaktur dan Lay Outer Majalah AL-FIKRAH mulai 2007 sampai 2011. Ia juga pendiri dan pimpinan umum Koran Mambast Pos sejak 2010 hingga sekarang. Ia juga mengajar Fiqih di Madrasah Diniyah Putra Mambaus Sholihin sejak 2011- sekarang, staf pengajar kursus Bahasa Arab, dan guru Bidang Studi PPKn di MTs Mambaus Sholihin hingga saat ini. Ia menyukai dunia tulis menulis sejak kecil, dan buku ‘Lalat dari Jerman’ ini adalah karya perdananya. Penulis yang sedang menyelesaikan novel ini sekarang masih tinggal di Pon.Pes. Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik. Kritik dan saran bisa dikirim di nomor 085731313185.


0 komentar:

Posting Komentar