Bidadari di Dalam Kendi
Aris
adalah putra pertama Pak Hafid, hasil perkawinannya dengan Ida Safitri.
Sebagai anak Aris tergolong
bandel. Sering menentang perintah orang tuanya. Ibunya
sehari-hari hanya terbaring
di tempat tidur karena lumpuh.
Di
keluarga Pak Hafid ada satu lagi anak lelaki, namanya Asif. Sebenarnya dia
adalah putra Pak Tamam, saudara Pak Hafid yang merantau ke Samarinda bersama
istrinya. Sejak kecil Asif oleh orang tuanya dititipkan di keluarga Pak Hafid. Sekalian
untuk menemani putra satu-satunya Pak Tamam yang masih kecil. Berbeda dengan
Arif, Asif tergolong anak yang patuh. Dan kepatuhan serta ketaatan itulah yang
membuat Pak Hafid tampak lebih menyayangi keponakannya dibanding anak
kandungnya sendiri. Arif pun salah paham. Ia menganggap perlakuan orang tuanya
terhadap Asif sebagai bentuk pilih kasih. Dan rasa itu berkembang menjadi
perasaan dengki pada saudara sepupunya itu. Perasaan iri tersebut bahkan sering
terwujud dalam usaha menyakiti Asif secara fisik. Namun Asif berusaha sabar
dengan bermacam perlakuan buruk yang dia terima.
Ketika
kedua orang tuanya pulang dari rantau, Asif baru terbebas dari perlakuan buruk
saudara sepupunya. Ia pun meninggalkan keluarga Pak Hafid dan kembali tinggal
bersama kedua orang tua kandungnya.
***
MATAHARI
masih malu-malu menampakkan diri. Hanya mengintip di sela-sela kabut pagi dengan
sinarnya. Embun berangkulan mesra dengan punggung daun-daun pisang di depan rumah
Arif. Sepagi itu ia sudah hendak berangkat ke sekolah.
“Loh,
Sif, apa tidak sarapan dulu. Sepagi ini kok sudah mau berangkat?” tanya ibunya
“Asif
sarapan di kantin sekolah saja, Bu” jawab Asif
“Ada janji dengan teman.” Ia pun berangkat
dengan sepatu Pro Att yang melekat di kedua telapak kakinya. Sekitar dua puluh
menit ia sampai di depan gerbang sekolah. Ia celingukan, mencari penjaga
yang masih belum membuka pintu gerbang. Sambil menunggu gerbang buka, Asif
menuju kantin di sekitar sekolah. Ia lalu masuk ke sebuah warung nasi yang
bertuliskan “Dapur Nenek”.
Nama
itulah yang membuat dirinya tertarik untuk masuk ke warung itu.
“Nek,
sarapan,”
“Sarapan
apa, Nak? nasi pecel atau lodeh?” tanya seorang perempuan tua
yang pastilah pemilik warung itu
“Pecel
saja, Nek” Asif lalu menyantap sepiring pecel pesanannya. Setelah
selesai sarapan ia menuju ke sekolah. Saat itu tepat pukul tujuh, dan gerbang
sekolah pastilah telah sejak tadi dibuka.
“Maaf,
Rif aku agak telat. Tadi aku habis sarapan di warung ‘Dapur Nenek’.” Ucap Asif kepada
teman sekelasnya, Rifqi saat telah masuk ke kelas
“Kok
tidak mengajak aku, Sif? Aku juga ingin makan di sana. Apalagi kalau yang
melayani cucunya ha..ha...”
“Memangnya
nenek itu punya cucu, dan kamu kenal?” tanya Asif menyelidik
“Ya
jelas kenal lah. Cucu nenek itu empat. Namanya Dewi, Diva, Dita dan Dina.”
“Banyak
amat! memangnya kau ingin dilayani keempatnya saat makan di sana?”
“Kalau
aku yang cukup satu saja. Aku kan orangnya dermawan.”
“Dermawan?
Maksudmu?” Asif belum mengerti
“Ya,
Dewi buatku saja. Sedang tiga sisanya buat kamu”
“Oh, oke oke. Aku sepakat. Aku yakin, dalam dua
bulan ketiga cewek itu pasti menjadi milikku,” ucap Asif ketus.
***
SEPERTI
hari-hari sebelumnya, Asif berangkat ke sekolah pagi-pagi sekali. Dan ibunya
yang bertanya selalu mendapat jawaban yang sama, ada janji sama teman.
Penampilan Asif tidak seperti biasanya, lebih rapi. Tatanan rambutnya tertata, parfum
Casablanka ia semprotkan di baju seragamnya. Di saku bajunya tergantung kartu identitas.
“Ada-ada
saja tingkah anak SMA jaman sekarang.” Gumam ibunya saat Asif berangkat Ketika
tiba di sekolah dan pintu gerbang belum dibuka, Asif langsung menuju ke
“Warung
Nenek”.
“Ini
pecelnya, Nak. Teh hangatnya masih dibuatkan cucu saya,” kata nenek saat menyodorkan
pesanan Asif. Perempuan itu kembali ke belakang Mendadak Asif merasa sangat
gembira. Ia merasa keinginannya akan segera terwujud, mengenal salah satu dari
cucu pemilik warung yang pernah diceritakan Rifqi.
“Ini
teh hangatnya, Mas,”
“Terima
kasih,” jawab Asif yang kehilangan semangatnya. Ternyata yang mengantarkan teh pesanannya
adalah cucu laki-laki nenek yang masih duduk di bangku kelas dua SD.
“Lho,
photo itu kok nggak sama dengan wajah kakak?” tanya bocah itu setelah menaruh
gelas di depan Asif Pandangan Asif mengikuti arah jari telunjuk bocah itu.
Mengarah ke saku baju seragamnya.
“Ha!!”
Karena
terburu-buru Asif salah membawa ID Card. Kartu pengenal yang ia gantungkan di sakunya
bukanlah miliknya, tapi kepunyaan ayahnya saat menjadi karyawan di Samarinda. Untung
bukan cucu perempuan nenek yang melihat, gumamnya. Ia lalu menyambar kartu milik
ayahnya lalu memasukkannya ke saku celana.
“Apes
benar aku hari ini,” ucap Asif setelah keluar dari warung nenek, dan mendapati
gerbang sekolah telah terkunci. Ia pun teringat pribahasa yang pernah diajarkan
gurunya, sudah jatuh ketiban tangga. Namun tidak selamanya Asif apes. Suatu
hari ia berhasil menemui salah satu cucu Nenek. Ia juga memberikan secarik
kertas pada gadis itu.
Keesokan harinya gadis itu
memberi balasan kepada Asif dengan pesan, surat balasannya tidak boleh dibuka
sebelum terkumpul lima. Gadis itu meminta Asif menyimpan dulu semua surat yang diterima,
dan Asif dengan hati berbunga setuju. Sepulang sekolah Asif mencari tempat aman
untuk menyembunyikan suratnya. Ia menuju gudang tempat menyimpan barang yang
tidak dipakai. Ia menganggap tempat itu aman. Ia lalu mencari sebuah lemari,
tapi di gudang yang berdebu itu tak ada sebuah lemari. Saat matanya menatap
bagian pojok gudang ia melihat benda yang biasa digunakan tempat menyimpan air minum,
Kendi. Ia pun mengambilnya.
“Surat-surat
Dina akan kusimpan semua di kendi ini. Kalau telah terkumpul lima maka kendi ini
akan kupecah.” Kata Asif setelah membawa kendi tersebut ke dalam kamarnya.
“Sif,
tolong bantu bapakmu mengeluarkan kurungan.” Kata ibunya sambil mengetuk pintu.
Asif gugup. Ia tidak ingin ibunya tahu apa yang baru saja ia lakukan. Asif
mencari tempat untuk menyembunyikan kendi itu. Ibunya terus mengetuk pintu dan
Asif menaruh kendi itu di atas lemari baju.
“Ya
Bu, sebentar,”
“Kok
lama sekali, Sif. Itu burung Jalak tolong bawa ke depan rumah. Akan diberi
makan dan minum oleh bapak.” Kata bapaknya sambil membawa dua kurungan yang
berisi burung Podang dan Kenari.
“Ya
pak,” jawab Asif.
***
SUATU
pagi Asif kembali menunggu di depan warung nenek. Tidak seperti biasa, pagi itu
warung tertutup rapat. Sepuluh menit telah berlalu dan warung masih belum
dibuka. Asif mulai penasaran. Ia lalu mencoba mencari informasi. Seorang
tetangga menjelaskan bahwa nenek dan semua cucunya sedang di Rumah Sakit. Nenek
diopname karena sakit kepala yang berkepanjangan dan telah menjalar ke
sarafnya. Bersama Rifqi Asif berangkat ke rumah sakit.
Waktu
itu hari Minggu. Setelah bertanya pada petugas di ruang administrasi keduanya
menuju tempat nenek dirawat. Langkah kedua remaja itu cepat. Di perjalanan Asif
terkejut, saat dilihatnya sebuah kursi dorong yang diikuti keluarga. Di atas kursi
itu seorang perempuan yang tak asing bagi Asif, Ida Safitri.
“Sif!” suara seseorang yang tangannya menepuk
pundak Asif. Keduanya pun bercakap-cakap.
“Sif
!” ucap Rifqi “lihat itu Dina sedang berjalan ke sini”
Dina mengajak Asif dan Rifqi
masuk ke tempat neneknya dirawat. Tiba-tiba nenek itu berkata kepada cucunya
“Aku
ingin ke Samarinda. Aku kangen bapak ibumu”
“Ya,
Nek. Kalau nenek sudah sembuh kami akan mengantar nenek ke sana,” ucap salah
satu cucunya.
Dan nenek itu tersenyum
bahagia.
***
SETELAH
dua minggu nenek itu bisa dibawa pulang. Keadaannya telah pulih. Dan sesuai rencana
seluruh keluarga nenek akan ke Samarinda. Dina menyuruh Asif menemuinya di bandara..
di situ surat kelima akan diberikan..
Sebelum keluarga naik
pesawat, Jamal menghampiri Asif dan mengulurkan sesuatu.
“Kak,
ini ada surat dari Mbak Dina.” Kata bocah itu. Setelah pesawat lepas landas
Asif membawa surat itu pulang. Namun sesampainya di rumah Asif merasakan
hatinya remuk redam. Seperti ada petir yang tiba-tiba menyambar. Kendi tempat
ia menyimpan surat-surat dari Dina telah terisi. Ibu Asif memenui kendi itu
dengan air saat ayahnya butuh tempat untuk memancurkan ke tempat minum burung
Jalak. Surat dari bidadari belum sempat dia baca, tapi kini sudah hancur
dilalap air. Dalam pikirannya Asif membayangkan Bidadari di dalam kendi itu
tenggelam sudah. Dalam kekecewaannya Asif membuka surat
kelima dari Dina. Ia berharap
lembaran itu akan merangkum keempat surat sebelumnya. Namun alangkah bergetar
perasaan remaja itu, saat tahu bahwa secarik kertas itu berisi pesan yang tak pernah
ia bayangkan sebelumnya.
Buat
Asif
Sekeping hati wanita
sangatlah halus dan perasa. Namun sekarang telah tergores dan meninggalkan
luka. Luka yang sangat menyiksa bagi saya seorang wanita. Hatiku sakit saat
kedua kakakku memberitahu tentang laki-laki sepertimu. Aku tak habis fikir,
kenapa kau berusaha mencintai dua kakakku. Aku takut seandainya kau benar-benar
menjadi suamiku. Cinta kita sebagai suami-istri sirna saat ada wanita lain yang
lebih baik dariku. Kau ternyata serakah dalam mencintai wanita. Tiga hati
wanita ingin kau miliki sendiri. Tidak mungkin!!!
Maaf kalau hatimu akan
tergores dengan penjelasanku ini. Ketahuilah bahwa selama ini aku hanya
berpura-pura mencintaimu. Agar hatimu mendapat sedikit hiburan dari rasa sakit
karena penolakan Mbak Diva dan Mbak Dita. Surat kelimaku ini adalah surat terakhir
yang pernah kau terima. Dari seorang gadis yang hatinya menanggung luka. Aku
tidak akan pernah kembali untuk menemuimu. Kami akan menetap di Samarinda.
Mungkin untuk selamanya. Aku akan di sana bersama kedua orang tuaku.
Salam
Dina.
Gresik 2013
Tentang Penulis : Agus Ibrahim lahir 10 Desember 1990 di
desa Sambungrejo, Rengel, Tuban Jawa Timur. Putra pertama dari pasangan H.
Syuhada’ dan Hj. Siti Romadlonah. Ia menempuh pendidikan dasar di MI Mambaul Islam
Losari Soko Tuban (lulus 2003), MTs Mambaus Sholihin Suci Gresik (lulus 2006),
MAK Mambaus Sholihin (lulus 2009). Setamat MAK, ia masuk Fakultas Syari‘ah
Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah di Institut Keislaman Abdullah Faqih (INKAFA) Suci Manyar Gresik
(Lulus 2013).
Dalam organisasi ia pernah menjadi Sekretaris OSIS MA
Mambaus Sholihin periode 2008-2009, anggota Departemen Bahasa Arab periode
2009- 2010, Sekretaris Pusat OSPMS Pondok Putra Mambaus Sholihin periode
2010-2011. Di bidang Jurnalistik ia pernah menjadi Redaktur dan Lay Outer Majalah
AL-FIKRAH mulai 2007 sampai 2011. Ia juga pendiri dan pimpinan umum Koran
Mambast Pos sejak 2010 hingga sekarang. Ia juga mengajar Fiqih di Madrasah Diniyah Putra
Mambaus Sholihin sejak 2011- sekarang, staf pengajar kursus Bahasa Arab, dan
guru Bidang Studi PPKn di MTs Mambaus Sholihin hingga saat ini. Ia menyukai
dunia tulis menulis sejak kecil, dan buku ‘Lalat dari Jerman’ ini adalah
karya perdananya. Penulis yang sedang menyelesaikan novel ini sekarang masih
tinggal di Pon.Pes. Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik. Kritik dan saran bisa
dikirim di nomor 085731313185.
0 komentar:
Posting Komentar