Game Over
Di
sebuah Play Station, seorang anak bernama Ihsan berujar
“Kalau
nggak bisa main mending lihat saja!”
“Itu
nggak adil” bantah anak yang bernama Fafan “tadi sudah ada perjanjian yang main
game harus antri satu-satu. Tapi sekarang giliranku kau malah cerewet.”
“Benar
Fafan, San!” Mamat membela Fafan.
Akhirnya Ihsan hanya diam
tanpa mengucapkan kata-kata kasar lagi.
“Fan,
kalau ingin melompat tekan tombol ini.” Mamat menunjukkan tombol yang fungsinya
untuk bisa melompat dalam game kesukaan Fafan.
“Kalau
mengeluarkan tembak gimana?” tanya Fafan.
“Kalau
mau dapat tembak, kamu harus bisa mengambil tanda bunga yang ada di atas balok itu,”
Mamat menunjuk balok-balok warna coklat yang menjadi tempat tanda bunga.
“Waduh!
Game Over lagi.” Fafan kesal, baru saja memegang stik Play Station sudah game
over. Game Mario Forever Game Over. Kini gantian teman-teman Fafan yang pegang
stik.
“Habis
Doni giliranku lagi, aku tinggal dulu ya, aku belum sholat ashar.” Fafan
beranjak pulang. Rumah Fafan tidak terlalu jauh dari tempat PS milik Mbak Yati
itu. Jaraknya hanya seratus meter.
“Dari
mana, Fan?” tanya kakek Fafan saat anak itu tiba di rumah
“Main
Mbah.” Jawabnya enteng, tak tahu kalau waktu ashar sudah mau habis.
“Main
kok nggak tahu waktu, ayo cepat sholat sana!” Perintah Mbah Nang.
Anak SD kelas 6 itu seperti
kereta jepang, super cepat dalam melaksanakan sholat Ashar. Entah gerakan
cepatnya karena mengejar waktu ashar atau memang pikirannya di hantui Mario
untuk datang lagi ke rumah Mbak Yati.
“Assalamualaikum Wa
rohmatullah.” Sholatnya
usai dengan dua salam.
***
SUASANA
sekolahan SD Sambung Rejo mulai ramai. Para siswa berdatangan. Pada pukul tujuh
tepat seluruh siswa sudah ada di kelas. Hanya Fafan yang masih di tengah jalan
mengendarai sepeda Wim cyclenya. Dia terlambat sebab ibunya belum memasak buat
sarapan. Terpaksa Fafan membeli nasi di warung Mbak Indasah. Sepeda sangat
kencang, karena pedalnya dikebut. Tapi di tengah jalan ia berbelok lalu lurus. Ia
tahu kalau Pak Jupri sudah stand by di depan kantor untuk menghukum siswa yang
terlambat. Sekolahan itu memang lumayan ketat. Terlebih sejak ada guru baru
yang sangat ditakuti seluruh
siswa.
Sepeda
Fafan berhenti, ia tampak mencoba menenangkan diri. Anak pertama pak Rizqi itu memang
sengaja membelok. Ia tidak masuk sekolah, tapi pergi ke rumah Mbak Yati si
pemilik Play Station. Celakanya, perempuan itu terlalu memberi kebebasan pada
anak-anak yang main di rumahnya. Ada yang diperbolehkan main game saat jam
sekolah berlangsung. Malah saat seorang anak minta dia temani, perempuan
berumur kepala tiga itu bersedia. Ia ikut main game Mario. Memang, game Mario
sedang marak dimainkan dari berbagai kalangan. Mulai anak-anak hingga orang
dewasa. Permainan Game itu terus berlanjut hingga jam istirahat tiba. Waktu
bermain sungguh tidak membosankan bagi Fafan. Ia terus saja mengendalikan tokohnya dengan semangat.
Ia benar-benar ingin menjadi jagoan main game. Ingin ia perlihatkan pada
teman-temannya bahwa dirinya memang jago.
Sejurus
kemudian muncul Lek Anis, Bu Nani dan Mbak Ratna. Mereka ikut-ikutan nongkrong di
depan layar saat Fafan sedang memegang stik dengan tokoh Mario. Sedangkan Mbak
Yati dengan tokoh Luigi. Begitulah, sejak masuknya PS ke desa itu permainan
tradisional terancam game over.
***
SORE
ini rumah Mbak Yati dipadati anak-anak seusia Fafan, mereka sedang berebut stik
untuk memainkan Super Mario Bros. “Aku, kemudian Mamat, Deni, Andre, Kusen dan
terakhir Ihsan.” Fafan seperti raja pemilik PS.
Hati Ihsan panas, tapi ia
berusaha menahannya. Ihsan yang terkenal usil itu tidak terima kalau gilirannya
paling akhir. Untung saat itu suasana ramai. Jika tidak maka Ihsan bisa-bisa
mencelakai si Fafan.
“San
! santai saja. Pasti Fafan baru mendapat setengah menit sudah game over.” Ucap
Deni meledek Ihsan hanya mengangguk lewat isyarat pandangan mata.
Namun
Fafan mulai ahli dalam memainkan stiknya. Tokoh Mario berjalan cepat sambil menyundul
balok yang menghasilkan poin. Sering juga karena keahliannya Fafan mendapat
bintang, bunga dan tambahan nyawa. Sepuluh menit telah lewat. Suara anak-anak
sangat gaduh ketika mereka melihat permainan Fafan yang sangat lihai. Hingga
Ihsan mulai tersulut emosinya.
“Ayo!
Biar adil, waktu main dibatasi lima belas menit. Kalau tidak......” Ihsan mulai
mengancam.
“Kalau
tidak apa?” sambut Fafan masih sambil bermain
“Nyawamu
Game Over.” Ihsan benar-benar emosi.
Ihsan mendadak keluar rumah.
Tak ada yang tahu kemana si Ihsan keluar. Fafan merasa lega. Dia merasa bahwa
musuh beratnya telah pergi. Pasti sedang buang hajat, ucap Fafan dalam hati.
Permainan
semakin seru. Tokoh Mario yang dimainkan Fafan sudah melewati gunung, musuh landak
bertembak api, jembatan curam, dan baru yang terakhir Fafan akan melawan Naga
untuk bisa menyelamatkan tuan putri. Fafan menghela nafas dan menggengam
jari-jarinya terlalu capek memainkan Stik. Ia harus berhati-hati untuk bisa sampai
level terakhir. Melewati Naga yang menyemburkan api. Dan dengan jalan yang hati
hati itu Mario hampir
mengalahkan Naga. Namun Pettt...., listrik mati. Mario tidak jadi mengalahkan
Naga. Fafan merasa kesal dan ia tidak mungkin mengulangi lagi dari awal. Adzan
ashar sudah terdengar. Listrik sengaja dimatikan oleh Mbak Yati. Aneh.
“Sholat
dulu, besok dilanjutkan lagi,” ucap Mbak Yati menyuruh anak-anak keluar.
***
SEPERTI
biasa, sore itu Fafan dan kawan-kawan sudah memadati rumah Mbak Yati.
“Ayo
Hom Pimpa dulu biar adil.” Ucap Deni. Setelah semua anak sepakat
Hom Pimpa. Urutan pertama Mamat, Andre, Kusen, Deni Fafan dan baru kemudian
Ihsan.
“Hahaha,...
Ihsan terakhir lagi.” Ledek Deni.
“Apa
kau!” Ihsan mengangkat kerah baju Deni. Kedua matanya melotot.
“Sudah-sudah.
Kalau bertengkar dan ketahuan Mbak Yati nanti malah dimatikan lagi.” Mamat berusaha
melerai pertengkaran itu Sesuai urutan, Mamat memainkan Mario
dengan agak lihai, tapi tak
selihai Fafan. Baru ketika ada pipa besar yang berlobang untuk bisa menembus
lorong bawah tanah, sosok monster kecil berhelm menyentuh tubuh Mario. Dan Game
Over.
Mamat
kesal, kekalahan permainannya diguyur tawa ledekan teman-temannya. Andre mulai
konsentrasi, menatap tajam layar dan tokoh lakonnya. Mario dalam layar itu berjalan
pelan dan meloncat-loncat dan kejebur ke jurang. Untung nyawa masih ada dua
lagi, ia sangat tegang dengan kesempatan 2 ronde. Tujuh menit kemudian Game
Over. Ketika giliran Kusen main, malah anak yang paling alim ini pamit dulu mau
sholat Ashar, maklum Kusen adalah anak pemuka agama di desanya. Tak mungkin
Kusen meninggalkan Sholat hanya gara-gara Video Game.
Kini
giliran Deni, anak Pak Madik yang jago main layang di sawah saat musim panen
tiba. Tapi sepertinya keahlian permainan layang-layangnya tak ada hubungannya
dengan main PS, dan benar. Sosok Luigi yang jadi tokohnya mati di level ke-2. Kini
Fafan, jagoan baru yang mulai lihai memainkan Stik warna putih bening itu. Nada
musik pengantar game mengalun di sound dekat layar, musik khas milik game Mario
ini yang menjadikan jiwa Fafan menyala-nyala, semua pikirannya konsentrasi pada
tombol kanan, kiri dan konsentrasi pada lawan Mario yang makin sulit dilalui.
Satu-dua level telah ia lalui lagi, tak berbeda dengan hari kemarin.
“Ayo!”
Ihsan mulai berulah lagi.
“Ayo!”
sekali lagi Ihsan membentak.
“Sekali lagi kau menganggu aku, aku tinju kepalamu!
aku tak takut denganmu.” Emosi Fafan mulai berkobar. Dia malah berani menantang
Ihsan yang sejak dulu ditakuti
Dan Ihsan mendadak keluar
dari rumah Mbak Yati. Fafan merasa lega. Level kelima sedang dihadapi Fafan
dengan serius, level yang sangat mendebarkan untuk bisa ke level akhir, level
enam. Lima menit kemudian Fafan sudah ada di level terakhir melawan naga
penjaga tuan puteri. Inilah saat terakhir Fafan akan menyandang gelar The Master
of Mario Bros. Stiknya mulai diobatabitkan ke kanan-kiri untuk bisa mengikuti jalannya
tokoh Mario di layar. Hampir saja Mario akan terkena semburan naga, Marionya menunduk
sehingga api semburan naga hanya lewat di atas punggungnya. Fafan layak
mendapat gelar The Master.
Teman-temannya pun mendukung.
Tiba-tiba telinga kanan Fafan diseret sebuah tangan kekar. Seorang lelaki
bertubuh kekar menyeret keluar si Fafan dari dalam rumah. Lelaki yang tak lain
ayah si Fafan itu menghajar anaknya. Di sepanjang jalan Fafan mendapatkan
jeweran dan sentilan dari ayahnya. Orang-orang yang hendak berangkat ke masjid
menyaksikan adegan menarik itu.
Sore
itu Fafan memang kelewatan. Ia tidak lagi teringat waktu. Sembahyang ashar ia
tinggalkan, demi Game Mario. Kedatangan ayah Fafan ke rumah Mbak Yati atas
pengaduan Ihsan. Ihsan bahkan membumbui laporannya. Menjelang magrib itu Fafan
benar-benar Game Over, dikalahkan si Ihsan.
Gresik, 2013
Tentang Penulis : Agus Ibrahim lahir 10 Desember 1990 di
desa Sambungrejo, Rengel, Tuban Jawa Timur. Putra pertama dari pasangan H.
Syuhada’ dan Hj. Siti Romadlonah. Ia menempuh pendidikan dasar di MI Mambaul Islam
Losari Soko Tuban (lulus 2003), MTs Mambaus Sholihin Suci Gresik (lulus 2006),
MAK Mambaus Sholihin (lulus 2009). Setamat MAK, ia masuk Fakultas Syari‘ah
Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah di Institut Keislaman Abdullah Faqih (INKAFA) Suci Manyar Gresik
(Lulus 2013).
Dalam organisasi ia pernah menjadi Sekretaris OSIS MA
Mambaus Sholihin periode 2008-2009, anggota Departemen Bahasa Arab periode
2009- 2010, Sekretaris Pusat OSPMS Pondok Putra Mambaus Sholihin periode
2010-2011. Di bidang Jurnalistik ia pernah menjadi Redaktur dan Lay Outer Majalah
AL-FIKRAH mulai 2007 sampai 2011. Ia juga pendiri dan pimpinan umum Koran
Mambast Pos sejak 2010 hingga sekarang. Ia juga mengajar Fiqih di Madrasah Diniyah Putra
Mambaus Sholihin sejak 2011- sekarang, staf pengajar kursus Bahasa Arab, dan
guru Bidang Studi PPKn di MTs Mambaus Sholihin hingga saat ini. Ia menyukai
dunia tulis menulis sejak kecil, dan buku ‘Lalat dari Jerman’ ini adalah
karya perdananya. Penulis yang sedang menyelesaikan novel ini sekarang masih
tinggal di Pon.Pes. Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik. Kritik dan saran bisa
dikirim di nomor 085731313185.
0 komentar:
Posting Komentar