Es Tebu Pak Jaka
Di
sebuah jalur jalan raya, langit biru dan hijau dedaunan tebu memanjakan setiap mata
yang memandang. Jaka, seorang pekerja bangunan tak pernah luput menikmati keindahan
yang memukau itu. Hampir setiap hari, sepeda motor yang dikendarai Pak Jaka
selalu melewati jalanan itu. Dan salah satu kebiasaan lelaki ini adalah duduk manis
di tenda bambu milik Cak Zani. Sebuah tenda yang telah lama berdiri di pinggir
jalan itu. Ada spanduk banner bertuliskan “Es Tebu Hijau Cak Zani”, terpasang
di depan tenda.
Siang
yang terik membuat keringat pak Jaka bercucuran. Waktu itu ia pulang kerja.
Seperti biasa, jalan ke rumahnya selalu melewati tenda es Tebu Cak Zani. Sepeda
motor berplat nomor W 3591 AT parkir di depan tenda. Rasa lelahnya seakan
hilang saat meneguk segelas air gilingan tebu di tenda itu.
“Cak,
sepertinya di sebelah sana akan didirikan lagi tenda es Tebu?” Pak Jaka
menunjuk batang-batang bambu yang terpancang. Cak Zani mengangguk tanpa
berkata.
“Wah,
akan ada saingan baru!” ucap Pak Jaka, memancing emosi. Dan terlihat penjual es
Tebu itu berusaha menahan emosinya.
“Tenang
saja, Cak. Meskipun ada saingan tapi aku tetap langganan sampean.” Dan Cak Zani
tersenyum.
“Ya
udah cak, ini uangnya. Es tebu, ote-ote dan kerupuk satu.” Pak Jaka menyerahkan
uang lima puluh ribuan.
“Bawa
saja, Pak. Gratis!” ucap Cak Zani, menolak uang pembayaran.
“Ya
sudah. Terima kasih, Cak!. Kalo bisa lain kali juga sering-sering gratis
seperti ini ya...” Kembali Cak Zani tersenyum Pak Jaka langsung menyambar
sepedanya dan pulang.
***
KEBUN
tebu Mbah Danang adalah yang paling subur dan luas. Lokasinya di samping jalan,
dekat warung Cak Zani. Di pagi yang masih dirajai embun, Mbah Danang menghisap
rokok dalam dalam. Saat itu ia berdiri sambil memandangi batang-batang tebu
miliknya yang siap dipanen. Ia tersenyum saat membayangkan masa panen tebunya.
Dia berencana segera memanen tebu itu. Mbah Danang membuang rokoknya ke tengah ladang
tebu. Beruntung kabut dan embun pagi meredam puntung rokok yang dia buang. Sehingga
kebun itu tidak sampai kebaran. Kebun tebu milik Pak Gunadi pernah habis
dilalap api akibat puntung rokok pengendara mobil yang dibuang ke tengah tebu
yang mengering. Sambil tersenyum Mbah Danang lalu pulang. Senyumnya dititipkan
di daun-daun tebu yang siap dipanen itu. Mbah Danang akan menyampaikan kabar
tersebut pada istrinya. Sebab kalau tebunya dipanen, istrinya yang sibuk mempersiapkan
keperluan para pekerja. Tebu Mbah Danang sudah punya nama di mata para
investor. Setiap kali panen Mbah Danang mampu membeli sepeda motor. Malah-malah
rencana tahun ini ia dan istrinya akan berangkat umroh dari hasil tebunya.
Mbah
Danang sudah sampai rumah, istri tuanya sudah siap di meja makan menunggu suaminya
datang. Piring tertata rapi, nasi tersedia di bakul, tempe goreng, air putih
sudah tersedia di gelas. Tinggal satu yang belum, Mbah Naning belum menawari
suaminya sarapan.
“Buk,
siapkan pekerja borongan. Lima belas hari lagi tebu kita siap panen.” Ucap Mbah
Danang.
“Enggeh,
Bah.” Jawab
Mbah Naning, dan baru kemudian menawari sarapan.
“Bah,
ayo sarapan dulu. Nasinya sudah lama menunggu dimakan abah.” Abah alias Mbah
Danang langsung duduk di meja makan ditemani istrinya ikut sarapan pagi.
Sebuah
pemandangan yang setiap hari tak luput dari keluarga Mbah Danang.
“Bah,
kalau kurang Tanduk lagi.” Perintah istrinya.
Anggukan kepala Mbah Danang
mengiyakan istrinya. Ia mengunyah tempe yang seperti tak
habis-habis.
***
SEBUAH
sepeda motor melaju cepat. Melintas di jalan raya di depan tenda Es tebu Cak
Zani. Pak Jaka yang sudah nongkrong di situ mengintip di balik benner. Tatapan
matanya ikut melaju mengejar pengendara yang ngebut di jalan.
Sebelum
Pak Jaka sumbar, suara keras sudah duluan terdengar oleh semua orang.
Kecelakaan parah terjadi di jalur yang biasa Pak Jaka lewati. Pengendara yang
barusan ngebut melewati tenda es tebu sudah terkapar. Di dalam semak-semak hijau
tebu yang rimbun. Sepedanya rusak berat di samping jalan. Ia terpental jauh
hingga ke semak-semak tebu. Daun tebu yang mengering berwarna coklat tiba-tiba
becek darah.
Pemandangan
yang mengerikan, siang itu ada kabar yang mengguncang. Setengah jam kemudian
para warga memadati jalan melihat TKP kecelakaan maut. Pengendara yang mabuk
itu mati setelah menabrak kendaraan yang berlawanan. Pak Jaka yang melihat
kejadian itu merinding. Ia langsung tidak selera terhadap es tebunya. Ia lalu
membayar dan berlalu meninggalkan tenda. Tapi lain lagi bagi Cak Zani, kejadian
tadi seperti biasa. Ia sama sekali tida merasa ngeri. Beberapa waktu kemudian
tubuh Cak Zani merinding. Matanya melotot dan tangannya mengepal. Saat tatapan
matanya tertuju pada tenda es tebu baru yang sudah mulai jadi. Tenda es tebu
saingannya akan mulai buka pada hari dekat-dekat ini. Cak Zani benar-benar
merasa disaingi, ia berfikir sejenak untuk bisa menghalangi saingannya tak jadi
jual es tebu di dekat tendanya. Pikiranya melayang-layang
memikirkan ide. Sifat-sifat
hasutnya terus memburu pikiran, mulai mau membakar tenda, mengusir, menganiaya
dan hingga paling kejam; membunuh saingannya. Tak lama kemudian ia tersenyum
manis. Semanis air tebu gilingannya. Ia manggutmanggut setelah menemukan ide
jitu. Tunggu saja, pemilik tenda baru itu tidak akan untung jualan es tebu di
sini. Pasti keuntungannya lebih banyak es tebuku. Tunggu saja! Ucap lelaki
itu sambil tersenyum sinis.
***
PAGI
seperti yang lalu. Mbah Danang bersama istrinya mengecek kebun tebu miliknya
yang akan dipanen. Dua orang itu menyisir jalan setapak di kebun tebu dekat
jalan raya. Kini rokoknya tak lagi menemani seperti biasa, entah lupa bawa
rokok atau memang sengaja tak membawa. Nafas dua orang tua itu seperti aneh.
Aneh karena tersenggal-senggal setelah melihat kebun tebunya ada bercak darah
yang menempel di daun kering.
“Bah
itu seperti darah.” Seru Mbah Naning dengan menunjuk bercak darah merah yang tumpah
di coklat daun tebu.
“Mungkin
darahnya tikus, Bu,” jawab Mbah Danang.
“Tapi
mana bangkai tikusnya?” tanya istrinya
“Mungkin sudah ditelan kucing-kucing liar.”
“Mungkin
juga, Mbah,” ucap istrinya
Mereka
lalu meninggalkan kebun. Suami istri itu telah jauh dari kebunnya saat daun
tebu digoyang tangan manusia. Sosok manusia berdiri tegak di antara kebun luas
itu membabat batang tebu dengan celurit. Pencuri tebu membabat tiga hingga
tujuh batang tebu yang siap panen, lalu membawanya di belakang tenda untuk
dicuci. Dua jam kemudian batang-batang tebu sudah menjadi sari tebu yang manis dicampur
es batu.
“Satu
gelas cak.” Suara yang tak asing, Pak Jaka pesan 1 gelas es tebu Cak Zani.
“Tunggu
sebentar,”
“Ini
es tebunya, gilingan tebu hari ini spesial. Lebih manis daripada hari-hari
sebelumnya. Maklum tebu ini belinya di Surabaya. Mahal.” Suara campur tawa Cak
Zani mengalun di telinga Pak Jaka.
Pak
Jaka hanya tersenyum tanpa menanggapi omongan Cak Zani.
***
TIGA
belas hari kemudian. Ada batang-batang bambu di sepanjang jalan. Batang bambu
itu akan dibuat mendirikan tenda milik warga desa sebelah yang tertarik akan menjual
es tebu. Es tebu sedang marak dibicarakan oleh orang-orang saat di warung kopi,
katanya Cak Zani sebagai usahawan es tebu telah mendapat keuntungan
berlipat-lipat. Sehingga warga desa sebelah ramai-ramai mendirikan tenda.
Hari
itu juga kebun tebu Mbah Danang dibabat habis oleh para pekerja borongan.
Tebunya yang diangkut tujuh truk siap dibawa ke pabrik. Hasil panen yang
memuaskan, dan keduanya berencana menunaikan ibadah Umroh. Sementara Cak Zani
mulai gelisah. Pikirannya kacau. Batang-batang tebu yang biasa diambil tanpa
dibayar kini telah rata dengan tanah. Habis dipanen pemiliknya. Kegelisahan
lain ada pada tenda-tenda yang akan didirikan di sepanjang jalan. Cak Zani
bingung dan kemudian menatap para pengendara kendaraan bermotor yang lalu lalang
di depan tendanya. Ia hanya bengong. Usaha haramnya telah gagal. Pesaing
penjual Es tebu pada hari-hari mendatang akan semakin marak. Berjajar di
pinggir jalan. Ia terus duduk dan sungguh merasa kesal.
Satu
bulan kemudian. Sebuah tenda baru berdiri di ujung jalan dekat lampu merah.
Tenda yang laris diserbu pembeli. Tenda baru Es tebu itu berdiri tanpa ada saingannya.
Tenda baru itu bertuliskan “Es Tebu Pak Jaka 100% Halal”.
Gresik, 2013
Tentang Penulis : Agus Ibrahim lahir 10 Desember 1990 di
desa Sambungrejo, Rengel, Tuban Jawa Timur. Putra pertama dari pasangan H.
Syuhada’ dan Hj. Siti Romadlonah. Ia menempuh pendidikan dasar di MI Mambaul Islam
Losari Soko Tuban (lulus 2003), MTs Mambaus Sholihin Suci Gresik (lulus 2006),
MAK Mambaus Sholihin (lulus 2009). Setamat MAK, ia masuk Fakultas Syari‘ah
Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah di Institut Keislaman Abdullah Faqih (INKAFA) Suci Manyar Gresik
(Lulus 2013).
Dalam organisasi ia pernah menjadi Sekretaris OSIS MA
Mambaus Sholihin periode 2008-2009, anggota Departemen Bahasa Arab periode
2009- 2010, Sekretaris Pusat OSPMS Pondok Putra Mambaus Sholihin periode
2010-2011. Di bidang Jurnalistik ia pernah menjadi Redaktur dan Lay Outer Majalah
AL-FIKRAH mulai 2007 sampai 2011. Ia juga pendiri dan pimpinan umum Koran
Mambast Pos sejak 2010 hingga sekarang. Ia juga mengajar Fiqih di Madrasah Diniyah Putra
Mambaus Sholihin sejak 2011- sekarang, staf pengajar kursus Bahasa Arab, dan
guru Bidang Studi PPKn di MTs Mambaus Sholihin hingga saat ini. Ia menyukai
dunia tulis menulis sejak kecil, dan buku ‘Lalat dari Jerman’ ini adalah
karya perdananya. Penulis yang sedang menyelesaikan novel ini sekarang masih
tinggal di Pon.Pes. Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik. Kritik dan saran bisa
dikirim di nomor 085731313185.
0 komentar:
Posting Komentar