468x60 Ads

Es Tebu Pak Jaka. Cerpen Keenam dalam Buku Kumpulan Cerpen Lalat dari Jerman






Es Tebu Pak Jaka

Di sebuah jalur jalan raya, langit biru dan hijau dedaunan tebu memanjakan setiap mata yang memandang. Jaka, seorang pekerja bangunan tak pernah luput menikmati keindahan yang memukau itu. Hampir setiap hari, sepeda motor yang dikendarai Pak Jaka selalu melewati jalanan itu. Dan salah satu kebiasaan lelaki ini adalah duduk manis di tenda bambu milik Cak Zani. Sebuah tenda yang telah lama berdiri di pinggir jalan itu. Ada spanduk banner bertuliskan “Es Tebu Hijau Cak Zani”, terpasang di depan tenda.
Siang yang terik membuat keringat pak Jaka bercucuran. Waktu itu ia pulang kerja. Seperti biasa, jalan ke rumahnya selalu melewati tenda es Tebu Cak Zani. Sepeda motor berplat nomor W 3591 AT parkir di depan tenda. Rasa lelahnya seakan hilang saat meneguk segelas air gilingan tebu di tenda itu.
“Cak, sepertinya di sebelah sana akan didirikan lagi tenda es Tebu?” Pak Jaka menunjuk batang-batang bambu yang terpancang. Cak Zani mengangguk tanpa berkata.
“Wah, akan ada saingan baru!” ucap Pak Jaka, memancing emosi. Dan terlihat penjual es Tebu itu berusaha menahan emosinya.
“Tenang saja, Cak. Meskipun ada saingan tapi aku tetap langganan sampean.” Dan Cak Zani tersenyum.
“Ya udah cak, ini uangnya. Es tebu, ote-ote dan kerupuk satu.” Pak Jaka menyerahkan uang lima puluh ribuan.
“Bawa saja, Pak. Gratis!” ucap Cak Zani, menolak uang pembayaran.  
“Ya sudah. Terima kasih, Cak!. Kalo bisa lain kali juga sering-sering gratis seperti ini ya...” Kembali Cak Zani tersenyum Pak Jaka langsung menyambar sepedanya dan pulang.
***
KEBUN tebu Mbah Danang adalah yang paling subur dan luas. Lokasinya di samping jalan, dekat warung Cak Zani. Di pagi yang masih dirajai embun, Mbah Danang menghisap rokok dalam dalam. Saat itu ia berdiri sambil memandangi batang-batang tebu miliknya yang siap dipanen. Ia tersenyum saat membayangkan masa panen tebunya. Dia berencana segera memanen tebu itu. Mbah Danang membuang rokoknya ke tengah ladang tebu. Beruntung kabut dan embun pagi meredam puntung rokok yang dia buang. Sehingga kebun itu tidak sampai kebaran. Kebun tebu milik Pak Gunadi pernah habis dilalap api akibat puntung rokok pengendara mobil yang dibuang ke tengah tebu yang mengering. Sambil tersenyum Mbah Danang lalu pulang. Senyumnya dititipkan di daun-daun tebu yang siap dipanen itu. Mbah Danang akan menyampaikan kabar tersebut pada istrinya. Sebab kalau tebunya dipanen, istrinya yang sibuk mempersiapkan keperluan para pekerja. Tebu Mbah Danang sudah punya nama di mata para investor. Setiap kali panen Mbah Danang mampu membeli sepeda motor. Malah-malah rencana tahun ini ia dan istrinya akan berangkat umroh dari hasil tebunya.
Mbah Danang sudah sampai rumah, istri tuanya sudah siap di meja makan menunggu suaminya datang. Piring tertata rapi, nasi tersedia di bakul, tempe goreng, air putih sudah tersedia di gelas. Tinggal satu yang belum, Mbah Naning belum menawari suaminya sarapan.
“Buk, siapkan pekerja borongan. Lima belas hari lagi tebu kita siap panen.” Ucap Mbah Danang.
“Enggeh, Bah.” Jawab Mbah Naning, dan baru kemudian menawari sarapan.
“Bah, ayo sarapan dulu. Nasinya sudah lama menunggu dimakan abah.” Abah alias Mbah Danang langsung duduk di meja makan ditemani istrinya ikut sarapan pagi.
Sebuah pemandangan yang setiap hari tak luput dari keluarga Mbah Danang.
“Bah, kalau kurang Tanduk lagi.” Perintah istrinya.
Anggukan kepala Mbah Danang mengiyakan istrinya. Ia mengunyah tempe yang seperti tak
habis-habis.
***
SEBUAH sepeda motor melaju cepat. Melintas di jalan raya di depan tenda Es tebu Cak Zani. Pak Jaka yang sudah nongkrong di situ mengintip di balik benner. Tatapan matanya ikut melaju mengejar pengendara yang ngebut di jalan.
Sebelum Pak Jaka sumbar, suara keras sudah duluan terdengar oleh semua orang. Kecelakaan parah terjadi di jalur yang biasa Pak Jaka lewati. Pengendara yang barusan ngebut melewati tenda es tebu sudah terkapar. Di dalam semak-semak hijau tebu yang rimbun. Sepedanya rusak berat di samping jalan. Ia terpental jauh hingga ke semak-semak tebu. Daun tebu yang mengering berwarna coklat tiba-tiba becek darah.
Pemandangan yang mengerikan, siang itu ada kabar yang mengguncang. Setengah jam kemudian para warga memadati jalan melihat TKP kecelakaan maut. Pengendara yang mabuk itu mati setelah menabrak kendaraan yang berlawanan. Pak Jaka yang melihat kejadian itu merinding. Ia langsung tidak selera terhadap es tebunya. Ia lalu membayar dan berlalu meninggalkan tenda. Tapi lain lagi bagi Cak Zani, kejadian tadi seperti biasa. Ia sama sekali tida merasa ngeri. Beberapa waktu kemudian tubuh Cak Zani merinding. Matanya melotot dan tangannya mengepal. Saat tatapan matanya tertuju pada tenda es tebu baru yang sudah mulai jadi. Tenda es tebu saingannya akan mulai buka pada hari dekat-dekat ini. Cak Zani benar-benar merasa disaingi, ia berfikir sejenak untuk bisa menghalangi saingannya tak jadi jual es tebu di dekat tendanya. Pikiranya melayang-layang
memikirkan ide. Sifat-sifat hasutnya terus memburu pikiran, mulai mau membakar tenda, mengusir, menganiaya dan hingga paling kejam; membunuh saingannya. Tak lama kemudian ia tersenyum manis. Semanis air tebu gilingannya. Ia manggutmanggut setelah menemukan ide jitu. Tunggu saja, pemilik tenda baru itu tidak akan untung jualan es tebu di sini. Pasti keuntungannya lebih banyak es tebuku. Tunggu saja! Ucap lelaki itu sambil tersenyum sinis.
***
PAGI seperti yang lalu. Mbah Danang bersama istrinya mengecek kebun tebu miliknya yang akan dipanen. Dua orang itu menyisir jalan setapak di kebun tebu dekat jalan raya. Kini rokoknya tak lagi menemani seperti biasa, entah lupa bawa rokok atau memang sengaja tak membawa. Nafas dua orang tua itu seperti aneh. Aneh karena tersenggal-senggal setelah melihat kebun tebunya ada bercak darah yang menempel di daun kering.
“Bah itu seperti darah.” Seru Mbah Naning dengan menunjuk bercak darah merah yang tumpah di coklat daun tebu.
“Mungkin darahnya tikus, Bu,” jawab Mbah Danang.
“Tapi mana bangkai tikusnya?” tanya istrinya
“Mungkin sudah ditelan kucing-kucing liar.”
“Mungkin juga, Mbah,” ucap istrinya
Mereka lalu meninggalkan kebun. Suami istri itu telah jauh dari kebunnya saat daun tebu digoyang tangan manusia. Sosok manusia berdiri tegak di antara kebun luas itu membabat batang tebu dengan celurit. Pencuri tebu membabat tiga hingga tujuh batang tebu yang siap panen, lalu membawanya di belakang tenda untuk dicuci. Dua jam kemudian batang-batang tebu sudah menjadi sari tebu yang manis dicampur es batu.
“Satu gelas cak.” Suara yang tak asing, Pak Jaka pesan 1 gelas es tebu Cak Zani.
“Tunggu sebentar,”
“Ini es tebunya, gilingan tebu hari ini spesial. Lebih manis daripada hari-hari sebelumnya. Maklum tebu ini belinya di Surabaya. Mahal.” Suara campur tawa Cak Zani mengalun di telinga Pak Jaka.
Pak Jaka hanya tersenyum tanpa menanggapi omongan Cak Zani.
***
TIGA belas hari kemudian. Ada batang-batang bambu di sepanjang jalan. Batang bambu itu akan dibuat mendirikan tenda milik warga desa sebelah yang tertarik akan menjual es tebu. Es tebu sedang marak dibicarakan oleh orang-orang saat di warung kopi, katanya Cak Zani sebagai usahawan es tebu telah mendapat keuntungan berlipat-lipat. Sehingga warga desa sebelah ramai-ramai mendirikan tenda.
Hari itu juga kebun tebu Mbah Danang dibabat habis oleh para pekerja borongan. Tebunya yang diangkut tujuh truk siap dibawa ke pabrik. Hasil panen yang memuaskan, dan keduanya berencana menunaikan ibadah Umroh. Sementara Cak Zani mulai gelisah. Pikirannya kacau. Batang-batang tebu yang biasa diambil tanpa dibayar kini telah rata dengan tanah. Habis dipanen pemiliknya. Kegelisahan lain ada pada tenda-tenda yang akan didirikan di sepanjang jalan. Cak Zani bingung dan kemudian menatap para pengendara kendaraan bermotor yang lalu lalang di depan tendanya. Ia hanya bengong. Usaha haramnya telah gagal. Pesaing penjual Es tebu pada hari-hari mendatang akan semakin marak. Berjajar di pinggir jalan. Ia terus duduk dan sungguh merasa kesal.
Satu bulan kemudian. Sebuah tenda baru berdiri di ujung jalan dekat lampu merah. Tenda yang laris diserbu pembeli. Tenda baru Es tebu itu berdiri tanpa ada saingannya. Tenda baru itu bertuliskan “Es Tebu Pak Jaka 100% Halal”.
                                                                                                                  Gresik, 2013








Tentang Penulis : Agus Ibrahim lahir 10 Desember 1990 di desa Sambungrejo, Rengel, Tuban Jawa Timur. Putra pertama dari pasangan H. Syuhada’ dan Hj. Siti Romadlonah. Ia menempuh pendidikan dasar di MI Mambaul Islam Losari Soko Tuban (lulus 2003), MTs Mambaus Sholihin Suci Gresik (lulus 2006), MAK Mambaus Sholihin (lulus 2009). Setamat MAK, ia masuk Fakultas Syari‘ah Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah di Institut Keislaman Abdullah Faqih (INKAFA) Suci Manyar Gresik (Lulus 2013).

          Dalam organisasi ia pernah menjadi Sekretaris OSIS MA Mambaus Sholihin periode 2008-2009, anggota Departemen Bahasa Arab periode 2009- 2010, Sekretaris Pusat OSPMS Pondok Putra Mambaus Sholihin periode 2010-2011. Di bidang Jurnalistik ia pernah menjadi Redaktur dan Lay Outer Majalah AL-FIKRAH mulai 2007 sampai 2011. Ia juga pendiri dan pimpinan umum Koran Mambast Pos sejak 2010 hingga sekarang. Ia juga mengajar Fiqih di Madrasah Diniyah Putra Mambaus Sholihin sejak 2011- sekarang, staf pengajar kursus Bahasa Arab, dan guru Bidang Studi PPKn di MTs Mambaus Sholihin hingga saat ini. Ia menyukai dunia tulis menulis sejak kecil, dan buku ‘Lalat dari Jerman’ ini adalah karya perdananya. Penulis yang sedang menyelesaikan novel ini sekarang masih tinggal di Pon.Pes. Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik. Kritik dan saran bisa dikirim di nomor 085731313185.

0 komentar:

Posting Komentar