Lelaki Tua dan Danau Angsa
Suasana
pagi di tepi danau tempat pemancingan terasa sejuk dan indah. Aku, Giant, dan
Sholeh baru saja sampai di tempat itu.
“Kita
istirahat di sana, sambil santai melepas lelah, sekalian lihat orang mancing.”
ajakku. Tanpa menunggu jawaban, aku berjalan di depan dua temanku dan langsung
menuju tempat duduk di bawah pohon kelapa.
“Leh
! angsa itu indah sekali ya…” Giant kagum melihat patung dua angsa di danau
pemancingan, dua angsa
terbuat dari kayu dan berukuran besar, terbang di atas tanah dengan penyangga
besi runcing nan ramping.
“Betul,
aku belum pernah melihat pemandangan seindah ini...” jawab Sholeh.
“Tempat pemancingan ini namanya Swan Lake; Danau
Angsa.” kataku.
“Tempat
ini cocok sebagai hiburan bagi orang perumahan, lihat saja pemandangan indah yang
mengelilingi tempat ini, kayak di luar negeri kan?” ucap Giant membanggakan
pemandangan sekitar danau pemancingan.
“Gimana
kalau kita tiap pagi datang ke sini?” ajakku.
“Ngapain,
hanya lihat orang mancing?” tanya Giant.
“Ya,
sekaligus refreshing. Gimana menurut kalian?” ucapku sekaligus menunggu jawaban
dua temanku.
“Oke!”
Sholeh setuju usulanku.
“Kalau
kamu?” tanya Sholeh pada Giant seperti tak setuju dengan usulanku.
“Aku
tidak janji, kalau ada waktu aku ikut aja.” Jawabnya tanpa memandang Sholeh.
“Kamu
lihat apa sih, kok serius amat?” tanyaku.
“Itu
lho, coba lihat di ujung sana.” Giant menunjuk ujung danau pemancingan yang
luas.
Aku dan Sholeh mengikuti arah
telunjuk Giant.
“Ayo
kita ke sana, sekalian kita ikut bantu orang yang duduk di ujung itu.” Giant
tanpa menungguku, langsung berjalan menuju ujung danau kolam pemancingan.
Sedang Sholeh tak beranjak dari tempat duduknya. Aku tanpa menghiraukan Sholeh
yang masih duduk di bawah pohon kelapa itu, jalanku langsung terarah mengikuti
langkah Giant menuju ujung danau.
“Kasihan
lelaki tua itu.” Suara Giant sayup-sayup terdengar sambil berjalan menuju
tempat pak tua memegang gagang pancing. Jalan Giant sangat cepat, setengah
berlari. Aku pun tak mau kalah untuk menyalipnya, hingga tak sampai lima menit
mengantarkanku di ujung kolam danau. Mataku langsung tertuju pada sosok lelaki
sedang memegang kayu yang ujungnya terdapat tali senar putih dan umpan cacing
untuk mengelabuhi ikan-ikan yang masih lapar dalam danau yang menjanjikan.
“Mbah,
dapat ikan banyak ya?” tanya Giant saat mendekati pak tua yang duduk tanpa
alas.
Lelaki
tua itu merespon dengan senyum manis, “Baru dapat satu ikan Nak...”
Aku tetap diam di tempat,
berdiri, tanpa mengucap sepatah kata pada pak tua. Mataku menatap kayu panjang
yang dipegangnya, kadang tubuh tua itu ikut bergetar kuat dan hampir terjebur
ke dalam danau saat kailnya terlempar ke tengah-tengah danau, tempat ikan
bergerombol.
“Baca;
Wal Yatalatthof mbah, biar dapat ikan banyak.” Suara lirihku seperti tak
didengar olehnya. Penggalan pada ayat surat Al Kahfi itu adalah bacaan yang tak
pernah lepas saat aku mancing dulu, bacaan itu aku dapat dari putra kiai desaku,
kadang juga bacaan itu manjur hingga bernasib mujur, bacaan itu seperti
mengundang ikan untuk berebut cacing yang jadi umpan. Bacaan itu belum didengar
pak tua. Mau terlontarkan dengan lantang tapi bibirku kalu, seperti terkunci.
Aku mencoba mengulangi bacaan ayat itu lagi, tapi bibirku masih terkatup-katup tanpa
bisa lantang bersuara. Tiba-tiba tangan renta itu terseret kayu yang dibawa
ikan, tubuhnya mengikuti arah senar pancing yang dimainkan ikan, hal itu akan memunculkan
raut muka bahagia, bahagia jika memang ikannya dapat tersangkut di pancingnya. Jika
tidak, maka rasa ibaku akan meletup di dada. Lelaki tua tampak serius dengan
pancingnya, tanpa memperhatikan tubuh rentanya yang terombang-ambing hampir
jatuh di tepi danau. Dan raut mukanya tiba-tiba masam, padahal kailnya
ditenggak ikan. Raut muka Masam itu muncul dari ikan yang tak menggiurkan.
Memang pancing itu dapat ikan, tapi hanya ikan Mujahir kecil yang tak
membahagiakan baginya. Tanpa sebuah komentar yang terlontar dari Giant dan dariku,
ikan kecil itu dilempar kembali ke dalam danau.
“Iwak
cilik, kasihan Rek...” Ucap
pak tua, lalu membuang ikan kecil itu.
Kailnya
kembali terlempar. Tak lama, kailnya kembali dibawa ikan. Sorot mataku ikut
berbinar, dan ikut bahagia melihat tangan rentanya mengangkat kail.
“Aduh,
ikan kecil lagi.” Ucapku lirih. Kail kembali dapat ikan kecil, dan ikan kecil
itu
langsung dilempar lagi ke
dalam danau, dia merasa kasihan dengan ikan yang belum cukup
umur jika dipanggang di atas
kayu yang membara. Hal seperti itu berkali-kali terjadi. Hanya ikan kecil yang
tertangkap, hingga kejadian itu sempat membuatku merasa kasihan. Mungkin pagi
ini lelaki tua itu hanya dapat satu ikan untuk bisa dibawa pulang.
***
PAK
TUA hanya menenteng satu ikan ukuran besar untuk bisa dibawa pulang. Pak tua
berjalan meninggalkan kami, jalannya agak berat, entah karena bobot ikan yang
dibawanya atau yang lainnya. Aku ragu dia salah satu penghuni perumahan ini.
Sebab pakaian, cara berbicara serta tindak-tanduknya mirip orang pedalaman yang
terdampar di tengah kota. Namun anehnya, ia tahu jika di tengah perumahan ini
terdapat danau pemancingan.
Aku
berjalan menuju ke tempat Sholeh melihat pemancing muda berbaris rapi di bawah
pohon kelapa.
“Leh,
enak kan berdiam diri di sini sambil lihat orang mancing?” Tanyaku saat sampai
dekat Sholeh.
“Betul,
aku pasti akan sering datang ke sini. Selain tempat ini indah, juga tak
dipungut biaya lho...”
“Mana
Giant?” Tanya Sholeh buru-buru.
“Giant
lagi duduk di samping pohon besar itu, katanya masih capek.” Jawabku.
“Leh,”
“Apa?”
Sholeh serius memandangku.
“Tadi
di sana ada lelaki tua dapat ikan besar lho, tapi sayangnya hanya dapat satu
ikan.” Ceritaku pada Sholeh.
“Hebat!”
jawab Sholeh.
“Bisa
dapat satu ikan di danau ini sudah dikatakan hebat, apalagi ikan besar. Karena
dari tadi para pemancing muda yang berbaris rapi di sini tak ada satupun yang
mendapatkan ikan.” Ucap Sholeh.
“Tak
ada satupun pemancing yang dapat ikan?” tanyaku heran. Sholeh hanya mengangguk.
“Berarti
lelaki tua tadi hebat, masak setiap kali kail dilempar, ikan langsung nyangkut
di kailnya.” kataku.
“Kira-kira
apa rahasianya ya, kok sekali lempar langsung dapat ikan?” Tanya Sholeh. “Itu masalahnya Leh, aku juga belum sempat tanya,
keburu lelaki tua itu pergi.”
“Apa
mungkin…..” aku berhenti
“Mungkin
apa?” tanya Sholeh penasaran.
“Apa
mungkin ia mendengar mantra memancing yang kubisikkan, atau jangan-jangan ia
penjaga danau ini?” Sholeh diam sejenak, tapi tiba-tiba ucapannya
Terlontar
“Mungkin
juga.”
Kami
lalu saling memandang.
Tentang Penulis : Agus Ibrahim lahir 10 Desember 1990 di
desa Sambungrejo, Rengel, Tuban Jawa Timur. Putra pertama dari pasangan H.
Syuhada’ dan Hj. Siti Romadlonah. Ia menempuh pendidikan dasar di MI Mambaul Islam
Losari Soko Tuban (lulus 2003), MTs Mambaus Sholihin Suci Gresik (lulus 2006),
MAK Mambaus Sholihin (lulus 2009). Setamat MAK, ia masuk Fakultas Syari‘ah
Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah di Institut Keislaman Abdullah Faqih (INKAFA) Suci Manyar Gresik
(Lulus 2013).
Dalam organisasi ia pernah menjadi Sekretaris OSIS MA
Mambaus Sholihin periode 2008-2009, anggota Departemen Bahasa Arab periode
2009- 2010, Sekretaris Pusat OSPMS Pondok Putra Mambaus Sholihin periode
2010-2011. Di bidang Jurnalistik ia pernah menjadi Redaktur dan Lay Outer Majalah
AL-FIKRAH mulai 2007 sampai 2011. Ia juga pendiri dan pimpinan umum Koran
Mambast Pos sejak 2010 hingga sekarang. Ia juga mengajar Fiqih di Madrasah Diniyah Putra
Mambaus Sholihin sejak 2011- sekarang, staf pengajar kursus Bahasa Arab, dan
guru Bidang Studi PPKn di MTs Mambaus Sholihin hingga saat ini. Ia menyukai
dunia tulis menulis sejak kecil, dan buku ‘Lalat dari Jerman’ ini adalah
karya perdananya. Penulis yang sedang menyelesaikan novel ini sekarang masih
tinggal di Pon.Pes. Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik. Kritik dan saran bisa
dikirim di nomor 085731313185.
0 komentar:
Posting Komentar