468x60 Ads

Lelaki Tua dan Danau Angsa. Cerpen Kelima Belas dalam Buku Kumpulan Cerpen Lalat dari Jerman


Lelaki Tua dan Danau Angsa
Suasana pagi di tepi danau tempat pemancingan terasa sejuk dan indah. Aku, Giant, dan Sholeh baru saja sampai di tempat itu.
“Kita istirahat di sana, sambil santai melepas lelah, sekalian lihat orang mancing.” ajakku. Tanpa menunggu jawaban, aku berjalan di depan dua temanku dan langsung menuju tempat duduk di bawah pohon kelapa.
“Leh ! angsa itu indah sekali ya…” Giant kagum melihat patung dua angsa di danau
pemancingan, dua angsa terbuat dari kayu dan berukuran besar, terbang di atas tanah dengan penyangga besi runcing nan ramping.
“Betul, aku belum pernah melihat pemandangan seindah ini...” jawab Sholeh.
 “Tempat pemancingan ini namanya Swan Lake; Danau Angsa.” kataku.
“Tempat ini cocok sebagai hiburan bagi orang perumahan, lihat saja pemandangan indah yang mengelilingi tempat ini, kayak di luar negeri kan?” ucap Giant membanggakan pemandangan sekitar danau pemancingan.
“Gimana kalau kita tiap pagi datang ke sini?” ajakku.
“Ngapain, hanya lihat orang mancing?” tanya Giant.
“Ya, sekaligus refreshing. Gimana menurut kalian?” ucapku sekaligus menunggu jawaban dua temanku.
“Oke!” Sholeh setuju usulanku.
“Kalau kamu?” tanya Sholeh pada Giant seperti tak setuju dengan usulanku.
“Aku tidak janji, kalau ada waktu aku ikut aja.” Jawabnya tanpa memandang Sholeh.
“Kamu lihat apa sih, kok serius amat?” tanyaku.
“Itu lho, coba lihat di ujung sana.” Giant menunjuk ujung danau pemancingan yang luas.
Aku dan Sholeh mengikuti arah telunjuk Giant.
“Ayo kita ke sana, sekalian kita ikut bantu orang yang duduk di ujung itu.” Giant tanpa menungguku, langsung berjalan menuju ujung danau kolam pemancingan. Sedang Sholeh tak beranjak dari tempat duduknya. Aku tanpa menghiraukan Sholeh yang masih duduk di bawah pohon kelapa itu, jalanku langsung terarah mengikuti langkah Giant menuju ujung danau.
“Kasihan lelaki tua itu.” Suara Giant sayup-sayup terdengar sambil berjalan menuju tempat pak tua memegang gagang pancing. Jalan Giant sangat cepat, setengah berlari. Aku pun tak mau kalah untuk menyalipnya, hingga tak sampai lima menit mengantarkanku di ujung kolam danau. Mataku langsung tertuju pada sosok lelaki sedang memegang kayu yang ujungnya terdapat tali senar putih dan umpan cacing untuk mengelabuhi ikan-ikan yang masih lapar dalam danau yang menjanjikan.
“Mbah, dapat ikan banyak ya?” tanya Giant saat mendekati pak tua yang duduk tanpa alas.
Lelaki tua itu merespon dengan senyum manis, “Baru dapat satu ikan Nak...”
Aku tetap diam di tempat, berdiri, tanpa mengucap sepatah kata pada pak tua. Mataku menatap kayu panjang yang dipegangnya, kadang tubuh tua itu ikut bergetar kuat dan hampir terjebur ke dalam danau saat kailnya terlempar ke tengah-tengah danau, tempat ikan bergerombol.
“Baca; Wal Yatalatthof mbah, biar dapat ikan banyak.” Suara lirihku seperti tak didengar olehnya. Penggalan pada ayat surat Al Kahfi itu adalah bacaan yang tak pernah lepas saat aku mancing dulu, bacaan itu aku dapat dari putra kiai desaku, kadang juga bacaan itu manjur hingga bernasib mujur, bacaan itu seperti mengundang ikan untuk berebut cacing yang jadi umpan. Bacaan itu belum didengar pak tua. Mau terlontarkan dengan lantang tapi bibirku kalu, seperti terkunci. Aku mencoba mengulangi bacaan ayat itu lagi, tapi bibirku masih terkatup-katup tanpa bisa lantang bersuara. Tiba-tiba tangan renta itu terseret kayu yang dibawa ikan, tubuhnya mengikuti arah senar pancing yang dimainkan ikan, hal itu akan memunculkan raut muka bahagia, bahagia jika memang ikannya dapat tersangkut di pancingnya. Jika tidak, maka rasa ibaku akan meletup di dada. Lelaki tua tampak serius dengan pancingnya, tanpa memperhatikan tubuh rentanya yang terombang-ambing hampir jatuh di tepi danau. Dan raut mukanya tiba-tiba masam, padahal kailnya ditenggak ikan. Raut muka Masam itu muncul dari ikan yang tak menggiurkan. Memang pancing itu dapat ikan, tapi hanya ikan Mujahir kecil yang tak membahagiakan baginya. Tanpa sebuah komentar yang terlontar dari Giant dan dariku, ikan kecil itu dilempar kembali ke dalam danau.
“Iwak cilik, kasihan Rek...” Ucap pak tua, lalu membuang ikan kecil itu.
Kailnya kembali terlempar. Tak lama, kailnya kembali dibawa ikan. Sorot mataku ikut berbinar, dan ikut bahagia melihat tangan rentanya mengangkat kail.
“Aduh, ikan kecil lagi.” Ucapku lirih. Kail kembali dapat ikan kecil, dan ikan kecil itu
langsung dilempar lagi ke dalam danau, dia merasa kasihan dengan ikan yang belum cukup
umur jika dipanggang di atas kayu yang membara. Hal seperti itu berkali-kali terjadi. Hanya ikan kecil yang tertangkap, hingga kejadian itu sempat membuatku merasa kasihan. Mungkin pagi ini lelaki tua itu hanya dapat satu ikan untuk bisa dibawa pulang.
***
PAK TUA hanya menenteng satu ikan ukuran besar untuk bisa dibawa pulang. Pak tua berjalan meninggalkan kami, jalannya agak berat, entah karena bobot ikan yang dibawanya atau yang lainnya. Aku ragu dia salah satu penghuni perumahan ini. Sebab pakaian, cara berbicara serta tindak-tanduknya mirip orang pedalaman yang terdampar di tengah kota. Namun anehnya, ia tahu jika di tengah perumahan ini terdapat danau pemancingan.
Aku berjalan menuju ke tempat Sholeh melihat pemancing muda berbaris rapi di bawah pohon kelapa.
“Leh, enak kan berdiam diri di sini sambil lihat orang mancing?” Tanyaku saat sampai dekat Sholeh.
“Betul, aku pasti akan sering datang ke sini. Selain tempat ini indah, juga tak dipungut biaya lho...”
“Mana Giant?” Tanya Sholeh buru-buru.
“Giant lagi duduk di samping pohon besar itu, katanya masih capek.” Jawabku.
“Leh,”
“Apa?” Sholeh serius memandangku.
“Tadi di sana ada lelaki tua dapat ikan besar lho, tapi sayangnya hanya dapat satu ikan.” Ceritaku pada Sholeh.
“Hebat!” jawab Sholeh.
“Bisa dapat satu ikan di danau ini sudah dikatakan hebat, apalagi ikan besar. Karena dari tadi para pemancing muda yang berbaris rapi di sini tak ada satupun yang mendapatkan ikan.” Ucap Sholeh.
“Tak ada satupun pemancing yang dapat ikan?” tanyaku heran. Sholeh hanya mengangguk.
“Berarti lelaki tua tadi hebat, masak setiap kali kail dilempar, ikan langsung nyangkut di kailnya.” kataku.
“Kira-kira apa rahasianya ya, kok sekali lempar langsung dapat ikan?” Tanya Sholeh.  “Itu masalahnya Leh, aku juga belum sempat tanya, keburu lelaki tua itu pergi.”
“Apa mungkin…..” aku berhenti
“Mungkin apa?” tanya Sholeh penasaran.
“Apa mungkin ia mendengar mantra memancing yang kubisikkan, atau jangan-jangan ia penjaga danau ini?” Sholeh diam sejenak, tapi tiba-tiba ucapannya
Terlontar
“Mungkin juga.”
Kami lalu saling memandang.
                                                                                           Gresik, 2013



Tentang Penulis : Agus Ibrahim lahir 10 Desember 1990 di desa Sambungrejo, Rengel, Tuban Jawa Timur. Putra pertama dari pasangan H. Syuhada’ dan Hj. Siti Romadlonah. Ia menempuh pendidikan dasar di MI Mambaul Islam Losari Soko Tuban (lulus 2003), MTs Mambaus Sholihin Suci Gresik (lulus 2006), MAK Mambaus Sholihin (lulus 2009). Setamat MAK, ia masuk Fakultas Syari‘ah Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah di Institut Keislaman Abdullah Faqih (INKAFA) Suci Manyar Gresik (Lulus 2013).

          Dalam organisasi ia pernah menjadi Sekretaris OSIS MA Mambaus Sholihin periode 2008-2009, anggota Departemen Bahasa Arab periode 2009- 2010, Sekretaris Pusat OSPMS Pondok Putra Mambaus Sholihin periode 2010-2011. Di bidang Jurnalistik ia pernah menjadi Redaktur dan Lay Outer Majalah AL-FIKRAH mulai 2007 sampai 2011. Ia juga pendiri dan pimpinan umum Koran Mambast Pos sejak 2010 hingga sekarang. Ia juga mengajar Fiqih di Madrasah Diniyah Putra Mambaus Sholihin sejak 2011- sekarang, staf pengajar kursus Bahasa Arab, dan guru Bidang Studi PPKn di MTs Mambaus Sholihin hingga saat ini. Ia menyukai dunia tulis menulis sejak kecil, dan buku ‘Lalat dari Jerman’ ini adalah karya perdananya. Penulis yang sedang menyelesaikan novel ini sekarang masih tinggal di Pon.Pes. Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik. Kritik dan saran bisa dikirim di nomor 085731313185.

0 komentar:

Posting Komentar