468x60 Ads

Kata-kata Sang Motivator. Cerpen Pertama dalam Buku Kumpulan Cerpen Lalat dari Jerman









Kata-kata Sang Motivator


AKU masih berbincang dengan teman sebangku ketika Huda, ketua kelas kami secara mendadak memberi aba-aba.
“Qiyaman! (berdiri)”
Kami sekelas pun berdiri. Pak Sholah, salah satu guru kami memasuki kelas lalu menyapa.
“Assalamu`alaikum wa rohmatullahi wabarokatuh.”
“Wa`alaikum salam Wa rohmatullahi Wabarokatuh.” jawab kami serempak.
“Julusan ! (duduk).” Ketua kelas kembali memberi aba-aba.
Kami lalu duduk.
“Anak-anak,” ucap Pak Sholah “sebelum saya memulai pelajaran, saya minta kalian memejamkan mata.” Kami menuruti perintahnya, dan aku mendengar Pak Sholah kembali berkata.
 “Sekarang tarik nafas, tahan beberapa saat lalu hembuskan!” Meski penasaran aku melaksanakan perintah guru itu.
“Nah, sekarang berdoalah. Katakan dalam hati apa yang kau cita-citakan.” Sebagaimana lainnya, aku melakukan perintahnya.
“Kalau sudah, silahkan sekarang membuka mata.” Pak Sholah mendadak bertanya.
“Ismail, apa keinginanmu?”
“Saya ingin pergi ke Australia, Pak.” Jawab santri itu
“Kalau kamu, Zaman?”
“Saya ingin bisa kuliah di Universitas Al Azhar Mesir, Pak.”
“Kamu Najib?”
“Saya ingin pergi ke Palestina, Pak.” Ucap Najib, siswa yang sering menghibur kami sekelas
dengan lawakannya (humor).
“Palestina? Untuk apa ke sana?” Pak Sholah tampak heran.
“Jihad, Pak.” Kami sekelas langsung tertawa.
“Agus, kalau kamu bercita-cita apa?” Pak Sholah memandang ke arahku
“Saya ingin menjadi penulis, Pak. Saya ingin berdakwah melalui tulisan” jawabku
“Baiklah,” ucap Pak Sholah selanjutnya “saya doakan semoga apa yang kalian cita-citakan dikabulkan Allah. Dan kalian juga harus mendoakan saya.”
“Memangnya apa keinginan bapak?” tanya Zaman yang duduknya tak terlalu jauh dari bangku yang aku duduki.
“Doakan saya supaya bisa mengunjungi banyak negara di dunia.”
“Amiiiinn.” Ucap kami hampir bersamaan.
Pak Sholah lalu mengatakan, bahwa kami haruslah memiliki mimpi yang tinggi. Kami juga harus berusaha keras untuk meraih mimpi itu. Sebagaimana burung yang mampu terbang dengan sayapnya untuk menjelajah angkasa raya, kami juga mampu terbang dengan sayap cita-cita untuk menjelajah dunia, kata Pak Sholah. Sebelum memulai pelajaran, pak Sholah terlebih dulu menarik perhatian kami. Tidak langsung masuk ke pelajaran Nahwu yang dia emban. Ia meletakkan selembar uang pecahan lima puluh ribu di bawah gelas air mineral yang telah dibuka segelnya. Ia bertanya adakah yang mampu mengambil uang itu tanpa harus menumpahkan isi gelas yang menindihnya.
“Tapi,” ucap Pak Sholah “yang boleh mengambil uang ini terlebih dulu harus mampu menjelaskan ulang pelajaran saat ini. Bagaimana?” Kami sepakat.
Sambil sesekali menulis di papan, Pak Sholah menjelaskan tentang dua fi‘il (kata kerja) yang berkumpul jadi satu. Keduanya harus selalu dipisah dengan an masdariyyah. Lalu fi‘il yang kedua dibaca nasab.
“Contohnya, saya ingin makan. Bahasa Arabnya Ana uridu an a’kula. Paham?” tanya pak Sholah
“Insyaallah !” jawab kami sekelas
“Sekarang siapa yang akan maju, silahkan” Zaman berdiri dan langsung maju. Dia kemudian menjelaskan seperti yang tadi diterangkan Pak Sholah. Aku hanya diam di tempat dudukku, menyaksikan santri asal Bojonegoro itu menjelaskan kembali materi yang tadi diterangkan Pak Sholah. Zaman bahkan membuah contoh dari ayat Al Quran. Pak Sholah tampak gembira saat tahu apa yang dia ajarkan mampu dicerna Zaman.
“Nah, sekarang silahkan ambil uangnya,” kata Pak Sholah pada Zaman. Zaman berjalan mendekat ke meja guru. Dengan hati-hati ia berusaha menarik lembaran uang di bawah gelas. Namun rupanya Zaman menariknya terlalu keras sehingga gelas plastik yang menindihnya terguling. Isinya tumpah membasahi meja guru.
“Itulah usaha,” kata Pak Sholah “Jangan pernah menyerah dalam menggapai tujuan. Jika kalian ingin berhasil maka harus bekerja keras, pantang menyerah dan berfikir positif. Zaman, silahkan duduk.” Zaman kembali ke bangkunya. Sebelum mengakhiri pelajaran, Pak Sholah berpesan.
“Akan saya akhiri pelajaran hari ini dengan satu kata mutiara. ‘Sudah kau jelajahi isi alam rahim ibumu, saatnya kau jelajahi isi alam dunia nyatamu.’. Pak Sholah memberi salam lalu keluar ruangan. Aku segera mencatat kata mutiara itu di buku tulis.
Di kesempatan lain, Pak Sholah menyuruh kami membuka buku tulis. Aku sempat merasa takut, jangan-jangan wali kelas itu akan memeriksa kelengkapan catatanku. Beberapa temanku juga terlihat  enyimpan perasaan sama. Namun Pak Sholah tidak berjalan ke sekeliling kami. Seperti layaknya orang yang akan memeriksa tulisan satu persatu.
“Firman !” panggil Pak Sholah “tulis di bukumu apa yang akan saya katakan, “Kekalahanmu hanya satu, saat kegagalanmu direbut nafsu kemenanganmu.” Kulihat Firman segera mencatat ucapan, yang tak lain kata mutiara itu. Satu persatu siswa dipanggil namanya, lalu disuruh mencatat satu kata mutiara.
“Budiono : “Nafsumu hadir jadi raga di waktu kosongmu tak bernyawa.” Budiono segera menulis kata-kata itu.
Ibadur Rahman : “Jadilah pohon yang berbuah Nasab, Nasib, Nisob.”
Abdul Hamam: “Langkahmu, lakumu, lidahmu sesuaikan isi hatimu.”
Fadlur Rohman: “Sekali membaca harus berbuah karya.”
Atho’illah: “Saudaramu boleh kembar, tapi ilmumu tak boleh hambar.”
Aufal: “Di atas mimbar boleh sumbar, di bawah dampar harus datar.”
Aang: “Sampai kapanpun hormatilah gurumu, walau dirimu sudah menjadi gurunya guru”
Fahmi: “Jemputlah ilmumu seperti kau menjemput bolamu.”
Kelvin: “Kamu tak boleh kehilangan cinta akan ilmu agama. Aku boleh kehilangan ilmuku yang kau terima.”
Sofwan: “Jangan kau pangkas waktumu sebelum kau pangkas bodohmu.”
Adam: “Kalau tidak ada guru, semua murid dungu.”
Dziyaul Haq: “Air boleh bersih, Otak tak boleh putih.”
Syamsul: “Haus tenggorokan minumlah MBS Water biar segar. Haus ilmu maksimalkan belajar biar pintar.”
Syaifuddin: “Keberhasilan belajarmu akan memperkosa kebodohanmu.”
Hasan: “Ilmu nomor 1, dunia nomor 7.”
Al Farisi: “Besi boleh berkarat karena usang, tapi jasa harus terikat untuk dikenang.”
Musthofa: “Bodoh itu hina, maka belajarlah dengan giat supaya kau sempurna.”
Agus Ibrahim: “Yang lebih penting dari tercapainya impianmu, adalah apa yang akan kau temui dalam perjalanan mewujudkan impian itu.” Cepat-cepat aku mencatatnya. Pak Sholah memberikan kata mutiara sekaligus menjelaskan maksudnya. Mendadak sebuah suara terdengar.
“Pak, saya kok belum mendapat kata mutiara?” ucap siswa yang tak lain Rahman
Setelah diam beberapa saat, Pak Sholah berkata, “Rahman ! Adusmu cukup sepisan, turumu cukup sepisan. Ojo pisan-pisan kawin sepisan (mandimu cukup sekali saja, tidurmu cukup sekali, tapi jangan pernah menikah satu kali).”
Kami dan Rahman langsung tertawa lepas.
***
TUJUH tahun telah berlalu. Suatu hari aku membuka Facebook. Salah satu status yang kubaca berbunyi; “Terima kasih pada para guruku, khususnya Pak Sholah yang banyak memberi motivasi. Kata-katanya selalu hidup di dalam hatiku. Harapanku telah terwujud dengan pertolongan Allah. Kini aku sudah ada di luar negeri.”  Dan nama facebook itu adalah salah satu temanku, Najibulllah. Status itu ditulis sekitar tiga menit lalu di Palestina. Tak sampai satu jam aku menjelajah dunia maya.
Aku tahu dari status yang ditulis bahwa sebagian besar teman sekelasku dulu berhasil meraih impiannya. Ada yang di Mesir, Palestina, Yaman dan lain-lain. Ismail yang bercita-cita ke Australia malah dituntun nasib ke Yaman. Kuliah di  universitas Al Ahqaff. Mungkin saja itu lebih baik baginya. Dari status di facebook aku juga tahu bahwa Pak Sholah telah berhasil meraih keinginannya. Ia menjadi novelis yang mampu berkeliling dunia untuk membedah karya-karyanya.
                                                                                                              Gresik, 2013






Tentang Penulis : Agus Ibrahim lahir 10 Desember 1990 di desa Sambungrejo, Rengel, Tuban Jawa Timur. Putra pertama dari pasangan H. Syuhada’ dan Hj. Siti Romadlonah. Ia menempuh pendidikan dasar di MI Mambaul Islam Losari Soko Tuban (lulus 2003), MTs Mambaus Sholihin Suci Gresik (lulus 2006), MAK Mambaus Sholihin (lulus 2009). Setamat MAK, ia masuk Fakultas Syari‘ah Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah di Institut Keislaman Abdullah Faqih (INKAFA) Suci Manyar Gresik (Lulus 2013).

          Dalam organisasi ia pernah menjadi Sekretaris OSIS MA Mambaus Sholihin periode 2008-2009, anggota Departemen Bahasa Arab periode 2009- 2010, Sekretaris Pusat OSPMS Pondok Putra Mambaus Sholihin periode 2010-2011. Di bidang Jurnalistik ia pernah menjadi Redaktur dan Lay Outer Majalah AL-FIKRAH mulai 2007 sampai 2011. Ia juga pendiri dan pimpinan umum Koran Mambast Pos sejak 2010 hingga sekarang. Ia juga mengajar Fiqih di Madrasah Diniyah Putra Mambaus Sholihin sejak 2011- sekarang, staf pengajar kursus Bahasa Arab, dan guru Bidang Studi PPKn di MTs Mambaus Sholihin hingga saat ini. Ia menyukai dunia tulis menulis sejak kecil, dan buku ‘Lalat dari Jerman’ ini adalah karya perdananya. Penulis yang sedang menyelesaikan novel ini sekarang masih tinggal di Pon.Pes. Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik. Kritik dan saran bisa dikirim di nomor 085731313185.



0 komentar:

Posting Komentar