Kata-kata Sang Motivator
AKU
masih berbincang dengan teman sebangku ketika Huda, ketua kelas kami secara
mendadak memberi aba-aba.
“Qiyaman!
(berdiri)”
Kami sekelas pun
berdiri. Pak Sholah, salah satu guru kami memasuki kelas lalu menyapa.
“Assalamu`alaikum
wa rohmatullahi wabarokatuh.”
“Wa`alaikum
salam Wa rohmatullahi Wabarokatuh.” jawab kami serempak.
“Julusan
! (duduk).” Ketua kelas kembali memberi aba-aba.
Kami lalu duduk.
“Anak-anak,”
ucap Pak Sholah “sebelum saya memulai pelajaran, saya minta kalian memejamkan
mata.” Kami menuruti perintahnya, dan aku mendengar Pak Sholah kembali berkata.
“Sekarang tarik nafas, tahan beberapa saat
lalu hembuskan!” Meski penasaran aku melaksanakan perintah guru itu.
“Nah,
sekarang berdoalah. Katakan dalam hati apa yang kau cita-citakan.” Sebagaimana
lainnya, aku melakukan perintahnya.
“Kalau
sudah, silahkan sekarang membuka mata.” Pak Sholah mendadak bertanya.
“Ismail,
apa keinginanmu?”
“Saya
ingin pergi ke Australia, Pak.” Jawab santri itu
“Kalau
kamu, Zaman?”
“Saya
ingin bisa kuliah di Universitas Al Azhar Mesir, Pak.”
“Kamu
Najib?”
“Saya
ingin pergi ke Palestina, Pak.” Ucap Najib, siswa yang sering menghibur kami sekelas
dengan lawakannya
(humor).
“Palestina?
Untuk apa ke sana?” Pak Sholah tampak heran.
“Jihad,
Pak.” Kami sekelas langsung tertawa.
“Agus,
kalau kamu bercita-cita apa?” Pak Sholah memandang ke arahku
“Saya
ingin menjadi penulis, Pak. Saya ingin berdakwah melalui tulisan” jawabku
“Baiklah,”
ucap Pak Sholah selanjutnya “saya doakan semoga apa yang kalian cita-citakan dikabulkan
Allah. Dan kalian juga harus mendoakan saya.”
“Memangnya
apa keinginan bapak?” tanya Zaman yang duduknya tak terlalu jauh dari bangku
yang aku duduki.
“Doakan
saya supaya bisa mengunjungi banyak negara di dunia.”
“Amiiiinn.”
Ucap kami hampir bersamaan.
Pak
Sholah lalu mengatakan, bahwa kami haruslah memiliki mimpi yang tinggi. Kami
juga harus berusaha keras untuk meraih mimpi itu. Sebagaimana burung yang mampu
terbang dengan sayapnya untuk menjelajah angkasa raya, kami juga mampu terbang
dengan sayap cita-cita untuk menjelajah dunia, kata Pak Sholah. Sebelum memulai
pelajaran, pak Sholah terlebih dulu menarik perhatian kami. Tidak langsung
masuk ke pelajaran Nahwu yang dia emban. Ia meletakkan selembar uang pecahan
lima puluh ribu di bawah gelas air mineral yang telah dibuka segelnya. Ia
bertanya adakah yang mampu mengambil uang itu tanpa harus menumpahkan isi gelas
yang menindihnya.
“Tapi,”
ucap Pak Sholah “yang boleh mengambil uang ini terlebih dulu harus mampu menjelaskan
ulang pelajaran saat ini. Bagaimana?” Kami sepakat.
Sambil
sesekali menulis di papan, Pak Sholah menjelaskan tentang dua fi‘il (kata
kerja) yang berkumpul jadi satu. Keduanya harus selalu dipisah dengan an
masdariyyah. Lalu fi‘il yang kedua dibaca nasab.
“Contohnya,
saya ingin makan. Bahasa Arabnya Ana uridu an a’kula. Paham?” tanya pak Sholah
“Insyaallah
!” jawab kami sekelas
“Sekarang
siapa yang akan maju, silahkan” Zaman berdiri dan langsung maju. Dia kemudian
menjelaskan seperti yang tadi diterangkan Pak Sholah. Aku hanya diam di tempat
dudukku, menyaksikan santri asal Bojonegoro itu menjelaskan kembali materi yang
tadi diterangkan Pak Sholah. Zaman bahkan membuah contoh dari ayat Al Quran.
Pak Sholah tampak gembira saat tahu apa yang dia ajarkan mampu dicerna Zaman.
“Nah,
sekarang silahkan ambil uangnya,” kata Pak Sholah pada Zaman. Zaman berjalan
mendekat ke meja guru. Dengan hati-hati ia berusaha menarik lembaran uang di
bawah gelas. Namun rupanya Zaman menariknya terlalu keras sehingga gelas
plastik yang menindihnya terguling. Isinya tumpah membasahi meja guru.
“Itulah
usaha,” kata Pak Sholah “Jangan pernah menyerah dalam menggapai tujuan. Jika kalian
ingin berhasil maka harus bekerja keras, pantang menyerah dan berfikir positif.
Zaman, silahkan duduk.” Zaman kembali ke bangkunya. Sebelum mengakhiri
pelajaran, Pak Sholah berpesan.
“Akan
saya akhiri pelajaran hari ini dengan satu kata mutiara. ‘Sudah kau jelajahi
isi alam rahim ibumu, saatnya kau jelajahi isi alam dunia nyatamu.’. Pak Sholah
memberi salam lalu keluar ruangan. Aku segera mencatat kata mutiara itu di buku
tulis.
Di
kesempatan lain, Pak Sholah menyuruh kami membuka buku tulis. Aku sempat merasa
takut, jangan-jangan wali kelas itu akan memeriksa kelengkapan catatanku.
Beberapa temanku juga terlihat enyimpan
perasaan sama. Namun Pak Sholah tidak berjalan ke sekeliling kami. Seperti
layaknya orang yang akan memeriksa tulisan satu persatu.
“Firman
!” panggil Pak Sholah “tulis di bukumu apa yang akan saya katakan, “Kekalahanmu
hanya satu, saat kegagalanmu direbut nafsu kemenanganmu.” Kulihat Firman segera
mencatat ucapan, yang tak lain kata mutiara itu. Satu persatu siswa dipanggil
namanya, lalu disuruh mencatat satu kata mutiara.
“Budiono
: “Nafsumu hadir jadi raga di waktu kosongmu tak bernyawa.” Budiono segera
menulis kata-kata itu.
Ibadur Rahman :
“Jadilah pohon yang berbuah Nasab, Nasib, Nisob.”
Abdul Hamam:
“Langkahmu, lakumu, lidahmu sesuaikan isi hatimu.”
Fadlur Rohman:
“Sekali membaca harus berbuah karya.”
Atho’illah:
“Saudaramu boleh kembar, tapi ilmumu tak boleh hambar.”
Aufal: “Di atas
mimbar boleh sumbar, di bawah dampar harus datar.”
Aang: “Sampai
kapanpun hormatilah gurumu, walau dirimu sudah menjadi gurunya guru”
Fahmi: “Jemputlah
ilmumu seperti kau menjemput bolamu.”
Kelvin: “Kamu tak
boleh kehilangan cinta akan ilmu agama. Aku boleh kehilangan ilmuku yang kau terima.”
Sofwan: “Jangan kau
pangkas waktumu sebelum kau pangkas bodohmu.”
Adam: “Kalau tidak
ada guru, semua murid dungu.”
Dziyaul Haq: “Air
boleh bersih, Otak tak boleh putih.”
Syamsul: “Haus
tenggorokan minumlah MBS Water biar segar. Haus ilmu maksimalkan belajar biar pintar.”
Syaifuddin:
“Keberhasilan belajarmu akan memperkosa kebodohanmu.”
Hasan: “Ilmu nomor
1, dunia nomor 7.”
Al Farisi: “Besi
boleh berkarat karena usang, tapi jasa harus terikat untuk dikenang.”
Musthofa: “Bodoh itu
hina, maka belajarlah dengan giat supaya kau sempurna.”
Agus Ibrahim: “Yang
lebih penting dari tercapainya impianmu, adalah apa yang akan kau temui dalam
perjalanan mewujudkan impian itu.” Cepat-cepat aku mencatatnya. Pak Sholah
memberikan kata mutiara sekaligus menjelaskan maksudnya. Mendadak sebuah suara
terdengar.
“Pak,
saya kok belum mendapat kata mutiara?” ucap siswa yang tak lain Rahman
Setelah
diam beberapa saat, Pak Sholah berkata, “Rahman ! Adusmu cukup sepisan,
turumu cukup sepisan. Ojo pisan-pisan kawin sepisan (mandimu cukup sekali
saja, tidurmu cukup sekali, tapi jangan pernah menikah satu kali).”
Kami dan Rahman
langsung tertawa lepas.
***
TUJUH
tahun telah berlalu. Suatu hari aku membuka Facebook. Salah satu status yang
kubaca berbunyi; “Terima kasih pada para guruku, khususnya Pak Sholah yang
banyak memberi motivasi. Kata-katanya selalu hidup di dalam hatiku. Harapanku
telah terwujud dengan pertolongan Allah. Kini aku sudah ada di luar negeri.” Dan nama facebook itu adalah salah satu temanku,
Najibulllah. Status itu ditulis sekitar tiga menit lalu di Palestina. Tak
sampai satu jam aku menjelajah dunia maya.
Aku
tahu dari status yang ditulis bahwa sebagian besar teman sekelasku dulu
berhasil meraih impiannya. Ada yang di Mesir, Palestina, Yaman dan lain-lain.
Ismail yang bercita-cita ke Australia malah dituntun nasib ke Yaman. Kuliah di universitas Al Ahqaff. Mungkin saja itu lebih baik
baginya. Dari status di facebook aku juga tahu bahwa Pak Sholah telah berhasil
meraih keinginannya. Ia menjadi novelis yang mampu berkeliling dunia untuk
membedah karya-karyanya.
Gresik,
2013
Tentang Penulis : Agus Ibrahim lahir 10 Desember 1990 di
desa Sambungrejo, Rengel, Tuban Jawa Timur. Putra pertama dari pasangan H.
Syuhada’ dan Hj. Siti Romadlonah. Ia menempuh pendidikan dasar di MI Mambaul Islam
Losari Soko Tuban (lulus 2003), MTs Mambaus Sholihin Suci Gresik (lulus 2006),
MAK Mambaus Sholihin (lulus 2009). Setamat MAK, ia masuk Fakultas Syari‘ah
Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah di Institut Keislaman Abdullah Faqih (INKAFA) Suci Manyar Gresik
(Lulus 2013).
Dalam organisasi ia pernah menjadi Sekretaris OSIS MA
Mambaus Sholihin periode 2008-2009, anggota Departemen Bahasa Arab periode
2009- 2010, Sekretaris Pusat OSPMS Pondok Putra Mambaus Sholihin periode
2010-2011. Di bidang Jurnalistik ia pernah menjadi Redaktur dan Lay Outer Majalah
AL-FIKRAH mulai 2007 sampai 2011. Ia juga pendiri dan pimpinan umum Koran
Mambast Pos sejak 2010 hingga sekarang. Ia juga mengajar Fiqih di Madrasah Diniyah Putra
Mambaus Sholihin sejak 2011- sekarang, staf pengajar kursus Bahasa Arab, dan
guru Bidang Studi PPKn di MTs Mambaus Sholihin hingga saat ini. Ia menyukai
dunia tulis menulis sejak kecil, dan buku ‘Lalat dari Jerman’ ini adalah
karya perdananya. Penulis yang sedang menyelesaikan novel ini sekarang masih
tinggal di Pon.Pes. Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik. Kritik dan saran bisa
dikirim di nomor 085731313185.
0 komentar:
Posting Komentar