Sepeda Ont‘el
Lelaki
tua dengan pakaian sangat sederhana berjalan menuju halaman rumah reotnya. Jenggot
panjangnya terbelai angin. Matanya dilapisi kaca lensa untuk bisa melihat
dunia. Tangannya selalu
ditemani tongkat kayu jambu, sandal kayunya kasar, peci kajinya terus bertengger
di atas kepala. Saku baju batiknya berisi buku kecil dan pulpen. Pipinya mulai
keriput. Dialah Mbah Kaji Kadir. Panggilan ‘Mbah Kaji’ itulah yang akrab di telinganya.
Terlebih dirinya sedang menunggang Ontel. Sebuah kendaraan beroda dua yang tak berekor,
sepeda orang desa. Sepeda inilah satusatunya benda berharga yang ia punya. Juga
satusatunya pendamping hidupnya. Karena ia tidak pernah lagi mempunyai bayangan
menikah lagi.
Di
usia tuanya kini pikiran dan konsentrasinya ia curahkan untuk mengabdi pada
Yang Maha Kuasa. Si Mbah ini hanya orang biasa, dalam arti bukan keturunan
pemuka agama. Pemikirannya kuno, sehingga tidak punya hasrat ingin gemerlap isi
dunia yang semakin hari semakin maju dan modern. Semua tindakannya bersumber
dari hatinya yang bersih, sebelum melakukan tindakan ia mempertimbangkan
konsekuensinya dengan sangat hati-hati.
Di
pagi yang masih buta itu ia mengayuh pedalnya menuju ladang, sekedar menikmati hijau-hijau
ranum daun yang masih dibungkus embun. Setiap usai mengucap Subhanallah atas
pujian terhadap keindahan ciptaan Tuhannya, Mbah Kaji Kadir kembali
pulang.
“Mbah,
monggo mampir,” salah
seorang tetangga menawari Mbah Kaji yang lewat depan rumahnya.
“Matur
suwun,” Mbah
Kaji pasti turun dan mampir di rumah tetangganya, sekedar ngobrol dan minum air
kendi.
“Mbah
nggak kesepian tiap hari sendirian di rumah?” tanya tetangga pemilik rumah.
“Kan
ada Ontel ini, selama ada dia saya selalu bahagia. Bahagia bisa diantarkan
keliling kampung melihat keindahan ciptaan-Nya.” Jawabnya sambil tersenyum
***
UDARA
dingin menemani Mbah Kaji membaca hening malam. Gelap tanpa satupun alat penerang.
Di kesunyian malam itu pikiran Mbah Kaji larut dalam kekosongan.
“Ayo
kita ambil semangka di ladang milik warga kemudian kita jual di pasar kliwon
esok hari, hidup miskin terus-menerus itu membosankan!” ajakan Setan memancing
nafsu
kejelekannya muncul dalam
benak.
“Jangan!
hidup sekali haruslah berarti. Mencuri sekali dan ketahuan bisa-bisa mati
digebuki. Mencuri itu
dilarang agama, dan itu pekerjaan setan. Kalau kamu tetap mencuri setan kerja
apa!” bisik akal sehatnya. Mbah Kaji merasa bingung. Di dalam kebingungan itu
ia lalu berjalan ke belakang rumahnya. Ia ambil sebuah karung dan pisau. Ia masukkan
kantong kecil terbuat dari kain ke dalam saku baju batiknya. Ia kuatkan
tekadnya untuk berangkat menuju ladang di tengah malam. Jalannya tetap ditemani
tongkat kayu jambu,
sementara sepeda ontelnya
ditinggal di rumah. Malam itu benar-benar nekat, pekerjaan yang belum pernah ia
kerjakan malam itu juga ia kerjakan.
Tiga
puluh menit kemudian ia sampai ke ladang. Ia berdiri di atas tanah ladang dan
mengangkat kedua tangan
seraya berdoa terlebih dahulu sebelum
mengerjakan sesuatu. Seperti kebiasaanya tiap hari. Bismillahirrohmanir
Rohim, mugo-mugo semongko iki barokah. Doanya sangat singkat dan ia
langsung mengambil pisau. Tajamnya pisau itu semakin membuat hatinya nekat.
Kantong yang ada di sakunya ia keluarkan dan ia ambil satu genggam biji
semangka. Ia tancapkan pisau ke tanah ladang, dan terbentuklah lobangan tempat
bibit semangka itu bisa tumbuh. Malam itu juga ia menanam bibit semangka yang
telah cukup lama ia simpan di pojok rumahnya. Dalam hati, ia yakin kalau bibit
semangka yang ia tanam itu akan tumbuh subur dan berbuah lebat. Hasil
penjualannya akan ia pergunakan untuk berangkat Haji ke Baitullah. Ia memang
dipanggil sebutan Mbah Kaji kerena tak pernah melepas peci putih yang menempel
di atas kepalanya. Benar itu adalah Peji Kaji, tapi Peci itu adalah pemberian Haji
Irsyad sepulang Haji dua tahun lalu. Diberikan kepada Mbah Kadir saat ia
berkunjung ke rumahnya.
Ladang
tempat ia menanam semangka adalah pemberian warga Desa sebagai tanda terima
kasih kepada Mbah Kadir atas jasa-jasanya mengurusi apa yang menjadi keperluan
Masjid dan menghidupkan syiar agama di Desa bumi Rejo. Malam itu juga ia
belajar menanam semangka, perkerjaan yang belum pernah ia kerjakan seumur hidupnya.
***
TIGA
bulan telah berlalu. Dalam sembilan puluh hari itu tak henti-hentinya hujan
lebat turun. Air yang tercurah dari langit kian hari kian melimpah, tak
tertampung sungai desa Bumi Rejo yang dangkal. Bumi Rejo pun diterjang banjir. Dalam peristiwa itu Mbah Kaji Kadir selamat. Ia
tidak sampai tewas terbawa arus air yang menyeret banyak warga. Juga, Mbah Kaji
tidak sampai kehilangan rumahnya. Ontel pendamping hidupnya juga selamat. Namun
ladangnya yang ditumbuhi semangka dan
siap panen itu ludes.
Mbah Kaji hanya mampu pasrah.
‘Semua berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya.’ Ucap batin Mbah Kaji. Meski
semangka gagal tapi ia tak putus asa. Tanah di ladangnya yang gembur akibat
endapan air bah ia tanami lagi. Kini mentimun.
Sore
sehabis menyapu Masjid, ia sempatkan ke ladang. Sekedar melihat tanamannya dari
atas sepedanya. Setiap hari ia memang rutin mengurus masjid desa.
Di
hari yang tak seperti biasanya. Mbah Kaji tak pernah nampak di Masjid, hingga
kotoran cicak dan daun-daun pohon berserakahan di lantai terbawa angin liar.
Kang Syujak, tukang adzan Masjid heran. Seusai sholat Ashar ia berniat mengunjungi
ke rumah Mbah Kaji Kadir. Sesuai rencana, Kang Syujak ditemani dua orang
berangkat ke rumahnya Mbah Kaji. Jarak masjid sampai rumah Mbah Kaji tak
seberapa jauh, sekitar 100 m. Sesampai sana, pintu rumah Mbah Kaji tertutup
rapat, saat tiga orang ini berusaha membuka pintu, datang tetangga Mbah Kaji.
“7
hari yang lalu Mbah Kaji telah meninggalkan kita,” jawab tetangganya Tiga orang
itu langsung dihujani kesedihan yang tiba-tiba, Inna Lillahi wa Inna ilahi
Rojiun. Itulah isi hati 3 orang yang aktif menemani Mbah Kaji sholat jamaah
di Masjid tiap harinya.
“33
hari lagi orangnya datang,” jawaban tetangganya malah membuat 3 orang itu
bingung.
“Mbah
Kaji tahun ini benar-benar Haji, ia berangkat Haji diajak relawan Surabaya saat
survei di desa ini tujuh hari yang lalu,” terang tetangganya menyambung
omongan.
“Alhamdulillah,
semoga Mabrur,” jawab tiga orang itu dengan hati lega.
***
WARGA
desa Bumi Rejo berdatangan ke rumah Mbah Kaji Kadir. Haji tua itu baru datang dari
tanah Suci Makkah bersama orang Surabaya. Kang Syuja’, Lek Pi’i, De Suroso,
tiga orang yang kemarin datang ke rumah itu ikut berbunga saat sambang Mbah
Kaji H. Kadir. Di dalam rumah, 3 orang itu melihat orang yang sepertinya telah memberangkatkan
Haji Mbah Kadir. Tanpa menunggu, Kang Syuja’ menghampirinya dan bertanya “Pak,
gimana kabarnya dari Makkah, sehat,?” tanya
basa-basi Kang Syujak sebelum mengutarakan pertanyaan yang ada di pikiranya kepada
orang yang memberangkatkan haji Mbah Kadir.
“Alhamdulillah,
malah habis dari Mekah tubuhku terasa lebih ringan dibanding setelah baru
sembuh dari penyakit ganasku,” jawab pengusaha itu
“Bapak
ada hubungan kerabat dengan Mbah Kaji Kadir, kok bisa sampai mengajaknya ke Makkah,
gimana ceritanya pak,” begitulah pertanyaan Kang Syujak.
“Saya
tidak ada hubungan apa-apa dengan beliau, saya hanya usahawan di Surabaya,” jawabnya
dengan panjang lebar. Ia menceritakan bahwasanya ia tidak ada niat
memberangkatkan haji Mbah Kadir, tapi dia punya Nadzar ingin menghajikan
seseorang kalau penyakit tumornya sembuh. Dan Allah benar-benar menyembuhkan penyakit
pengusaha sukses ini sehingga ketika dia sedang survei untuk membantu korban
banjir di
desa Bumi Rejo dia disuruh
mampir oleh orang tua yang tak dikenalnya, ialah Mbah Kadir.
Pengusaha itu dijamu dengan
istimewa, dimuliakan, dan diceritakan tradisi desa setempat.
Sampai-sampai Mbah Kadir
mengungkapkan isi hatinya ingin berangkat Haji. Karena itulah
pengusaha sukses ini terketuk
hatinya untuk memberangkatkan Haji, tak lain juga untuk
menyempurnakan janjinya atas
sembuhnya penyakit yang telah lama ia derita. Keinginan berangkat Haji simbah
tua itu terwujud, kini ia dipanggil; Mbah Kaji Haji Kadir.
***
MBAH
Kaji Kadir semakin dihormati masyarakat. Disamping tua ia juga rendah hati kepada
sesama. Apalagi ia baru saja datang dari Tanah Suci. Hingga suatu hari saat
beliau lewat rumah warga, mereka bergantian menyapa. Hal itu memang wajar bagi
Mbah Kaji, karena prilaku kesehariannya menyimpulkan bahwa dirinya memang orang
tua yang layak dihormati.
Suatu
hari saat Mbah Kaji bersepeda Ontel menuju ladangnya. Di tengah jalan ia
melihat perbuatan yang tidak senonoh. Di balik semak-semak yang rimbun ia
melihat perbuatan yang hanya pantas dilakukan pasangan suami-istri. Namun
ternyata, kejadian itu dilakukan dua hewan. Kambing jantan Kang Syujak
mengelamini kambing betina milik Lik Amin. Sambil tersenyum Mbah Kaji terus
bersepeda menuju ladangnya. Untung perbuatan itu dilakukan hewan. Seandainnya
dilakukan sepasang manusia yang bukan pada tempatnya alangkah memalukan.
Bahasa
tingkah laku Mbah Kaji membuat setiap orang merasa segan, disegani bukan karena
sering umbar dalil dan banyak bicara. Katakatanya ia buktikan dalam bentuk
perbuatan. Terbukti saat beliau habis pulang dari masjid dan berpapasan dengan
seorang gadis yang sedang berpacaran di bawah pohon Mahoni, maka pasangan itu
langsung menghindar. Keduanya menjauh sebelum lelaki tua yang bersepeda Ontel itu
melewati jalan itu.
Tak
hanya orangnya yang membuat orang segan, bahkan Sepeda Ontelnya. Saat diparkir
di pinggir jalan maka banyak yang menyangka bahwa pemiliknya pasti tak jauh
dari situ. Sebenarnya bukan ontel itu yang membuat orang-orang segan, tapi
pemiliknya alias Mbah Kaji Kadir.
Gresik, 2013
Tentang Penulis : Agus Ibrahim lahir 10 Desember 1990 di
desa Sambungrejo, Rengel, Tuban Jawa Timur. Putra pertama dari pasangan H.
Syuhada’ dan Hj. Siti Romadlonah. Ia menempuh pendidikan dasar di MI Mambaul Islam
Losari Soko Tuban (lulus 2003), MTs Mambaus Sholihin Suci Gresik (lulus 2006),
MAK Mambaus Sholihin (lulus 2009). Setamat MAK, ia masuk Fakultas Syari‘ah
Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah di Institut Keislaman Abdullah Faqih (INKAFA) Suci Manyar Gresik
(Lulus 2013).
Dalam organisasi ia pernah menjadi Sekretaris OSIS MA
Mambaus Sholihin periode 2008-2009, anggota Departemen Bahasa Arab periode
2009- 2010, Sekretaris Pusat OSPMS Pondok Putra Mambaus Sholihin periode
2010-2011. Di bidang Jurnalistik ia pernah menjadi Redaktur dan Lay Outer Majalah
AL-FIKRAH mulai 2007 sampai 2011. Ia juga pendiri dan pimpinan umum Koran
Mambast Pos sejak 2010 hingga sekarang. Ia juga mengajar Fiqih di Madrasah Diniyah Putra
Mambaus Sholihin sejak 2011- sekarang, staf pengajar kursus Bahasa Arab, dan
guru Bidang Studi PPKn di MTs Mambaus Sholihin hingga saat ini. Ia menyukai
dunia tulis menulis sejak kecil, dan buku ‘Lalat dari Jerman’ ini adalah
karya perdananya. Penulis yang sedang menyelesaikan novel ini sekarang masih
tinggal di Pon.Pes. Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik. Kritik dan saran bisa
dikirim di nomor 085731313185.
0 komentar:
Posting Komentar