468x60 Ads

Sepeda Ont‘el. Cerpen Kesepuluh dalam Buku Kumpulan Cerpen Lalat dari Jerman

Sepeda Ont‘el



Lelaki tua dengan pakaian sangat sederhana berjalan menuju halaman rumah reotnya. Jenggot panjangnya terbelai angin. Matanya dilapisi kaca lensa untuk bisa melihat

dunia. Tangannya selalu ditemani tongkat kayu jambu, sandal kayunya kasar, peci kajinya terus bertengger di atas kepala. Saku baju batiknya berisi buku kecil dan pulpen. Pipinya mulai keriput. Dialah Mbah Kaji Kadir. Panggilan ‘Mbah Kaji’ itulah yang akrab di telinganya. Terlebih dirinya sedang menunggang Ontel. Sebuah kendaraan beroda dua yang tak berekor, sepeda orang desa. Sepeda inilah satusatunya benda berharga yang ia punya. Juga satusatunya pendamping hidupnya. Karena ia tidak pernah lagi mempunyai bayangan menikah lagi.

Di usia tuanya kini pikiran dan konsentrasinya ia curahkan untuk mengabdi pada Yang Maha Kuasa. Si Mbah ini hanya orang biasa, dalam arti bukan keturunan pemuka agama. Pemikirannya kuno, sehingga tidak punya hasrat ingin gemerlap isi dunia yang semakin hari semakin maju dan modern. Semua tindakannya bersumber dari hatinya yang bersih, sebelum melakukan tindakan ia mempertimbangkan konsekuensinya dengan sangat hati-hati.

Di pagi yang masih buta itu ia mengayuh pedalnya menuju ladang, sekedar menikmati hijau-hijau ranum daun yang masih dibungkus embun. Setiap usai mengucap Subhanallah atas pujian terhadap keindahan ciptaan Tuhannya, Mbah Kaji Kadir kembali pulang.

“Mbah, monggo mampir,” salah seorang tetangga menawari Mbah Kaji yang lewat depan rumahnya.

“Matur suwun,” Mbah Kaji pasti turun dan mampir di rumah tetangganya, sekedar ngobrol dan minum air kendi.

“Mbah nggak kesepian tiap hari sendirian di rumah?” tanya tetangga pemilik rumah.

“Kan ada Ontel ini, selama ada dia saya selalu bahagia. Bahagia bisa diantarkan keliling kampung melihat keindahan ciptaan-Nya.” Jawabnya sambil tersenyum

***

UDARA dingin menemani Mbah Kaji membaca hening malam. Gelap tanpa satupun alat penerang. Di kesunyian malam itu pikiran Mbah Kaji larut dalam kekosongan.

“Ayo kita ambil semangka di ladang milik warga kemudian kita jual di pasar kliwon esok hari, hidup miskin terus-menerus itu membosankan!” ajakan Setan memancing nafsu

kejelekannya muncul dalam benak.

“Jangan! hidup sekali haruslah berarti. Mencuri sekali dan ketahuan bisa-bisa mati

digebuki. Mencuri itu dilarang agama, dan itu pekerjaan setan. Kalau kamu tetap mencuri setan kerja apa!” bisik akal sehatnya. Mbah Kaji merasa bingung. Di dalam kebingungan itu ia lalu berjalan ke belakang rumahnya. Ia ambil sebuah karung dan pisau. Ia masukkan kantong kecil terbuat dari kain ke dalam saku baju batiknya. Ia kuatkan tekadnya untuk berangkat menuju ladang di tengah malam. Jalannya tetap ditemani tongkat kayu jambu,

sementara sepeda ontelnya ditinggal di rumah. Malam itu benar-benar nekat, pekerjaan yang belum pernah ia kerjakan malam itu juga ia kerjakan.

Tiga puluh menit kemudian ia sampai ke ladang. Ia berdiri di atas tanah ladang dan

mengangkat kedua tangan seraya berdoa terlebih  dahulu sebelum mengerjakan sesuatu. Seperti kebiasaanya tiap hari. Bismillahirrohmanir Rohim, mugo-mugo semongko iki barokah. Doanya sangat singkat dan ia langsung mengambil pisau. Tajamnya pisau itu semakin membuat hatinya nekat. Kantong yang ada di sakunya ia keluarkan dan ia ambil satu genggam biji semangka. Ia tancapkan pisau ke tanah ladang, dan terbentuklah lobangan tempat bibit semangka itu bisa tumbuh. Malam itu juga ia menanam bibit semangka yang telah cukup lama ia simpan di pojok rumahnya. Dalam hati, ia yakin kalau bibit semangka yang ia tanam itu akan tumbuh subur dan berbuah lebat. Hasil penjualannya akan ia pergunakan untuk berangkat Haji ke Baitullah. Ia memang dipanggil sebutan Mbah Kaji kerena tak pernah melepas peci putih yang menempel di atas kepalanya. Benar itu adalah Peji Kaji, tapi Peci itu adalah pemberian Haji Irsyad sepulang Haji dua tahun lalu. Diberikan kepada Mbah Kadir saat ia berkunjung ke rumahnya.

Ladang tempat ia menanam semangka adalah pemberian warga Desa sebagai tanda terima kasih kepada Mbah Kadir atas jasa-jasanya mengurusi apa yang menjadi keperluan Masjid dan menghidupkan syiar agama di Desa bumi Rejo. Malam itu juga ia belajar menanam semangka, perkerjaan yang belum pernah ia kerjakan seumur hidupnya.

***

TIGA bulan telah berlalu. Dalam sembilan puluh hari itu tak henti-hentinya hujan lebat turun. Air yang tercurah dari langit kian hari kian melimpah, tak tertampung sungai desa Bumi Rejo yang dangkal. Bumi Rejo pun diterjang banjir.  Dalam peristiwa itu Mbah Kaji Kadir selamat. Ia tidak sampai tewas terbawa arus air yang menyeret banyak warga. Juga, Mbah Kaji tidak sampai kehilangan rumahnya. Ontel pendamping hidupnya juga selamat. Namun ladangnya yang  ditumbuhi semangka dan siap panen itu ludes.

Mbah Kaji hanya mampu pasrah. ‘Semua berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya.’ Ucap batin Mbah Kaji. Meski semangka gagal tapi ia tak putus asa. Tanah di ladangnya yang gembur akibat endapan air bah ia tanami lagi. Kini mentimun.

Sore sehabis menyapu Masjid, ia sempatkan ke ladang. Sekedar melihat tanamannya dari atas sepedanya. Setiap hari ia memang rutin mengurus masjid desa.

Di hari yang tak seperti biasanya. Mbah Kaji tak pernah nampak di Masjid, hingga kotoran cicak dan daun-daun pohon berserakahan di lantai terbawa angin liar. Kang Syujak, tukang adzan Masjid heran. Seusai sholat Ashar ia berniat mengunjungi ke rumah Mbah Kaji Kadir. Sesuai rencana, Kang Syujak ditemani dua orang berangkat ke rumahnya Mbah Kaji. Jarak masjid sampai rumah Mbah Kaji tak seberapa jauh, sekitar 100 m. Sesampai sana, pintu rumah Mbah Kaji tertutup rapat, saat tiga orang ini berusaha membuka pintu, datang tetangga Mbah Kaji.

“7 hari yang lalu Mbah Kaji telah meninggalkan kita,” jawab tetangganya Tiga orang itu langsung dihujani kesedihan yang tiba-tiba, Inna Lillahi wa Inna ilahi Rojiun. Itulah isi hati 3 orang yang aktif menemani Mbah Kaji sholat jamaah di Masjid tiap harinya.        

“33 hari lagi orangnya datang,” jawaban tetangganya malah membuat 3 orang itu bingung.

“Mbah Kaji tahun ini benar-benar Haji, ia berangkat Haji diajak relawan Surabaya saat survei di desa ini tujuh hari yang lalu,” terang tetangganya menyambung omongan.

Alhamdulillah, semoga Mabrur,” jawab tiga orang itu dengan hati lega.

***

WARGA desa Bumi Rejo berdatangan ke rumah Mbah Kaji Kadir. Haji tua itu baru datang dari tanah Suci Makkah bersama orang Surabaya. Kang Syuja’, Lek Pi’i, De Suroso, tiga orang yang kemarin datang ke rumah itu ikut berbunga saat sambang Mbah Kaji H. Kadir. Di dalam rumah, 3 orang itu melihat orang yang sepertinya telah memberangkatkan Haji Mbah Kadir. Tanpa menunggu, Kang Syuja’ menghampirinya dan bertanya “Pak, gimana kabarnya dari Makkah, sehat,?”  tanya basa-basi Kang Syujak sebelum mengutarakan pertanyaan yang ada di pikiranya kepada orang yang memberangkatkan haji Mbah Kadir.

Alhamdulillah, malah habis dari Mekah tubuhku terasa lebih ringan dibanding setelah baru sembuh dari penyakit ganasku,” jawab pengusaha itu

“Bapak ada hubungan kerabat dengan Mbah Kaji Kadir, kok bisa sampai mengajaknya ke Makkah, gimana ceritanya pak,” begitulah pertanyaan Kang Syujak.

“Saya tidak ada hubungan apa-apa dengan beliau, saya hanya usahawan di Surabaya,” jawabnya dengan panjang lebar. Ia menceritakan bahwasanya ia tidak ada niat memberangkatkan haji Mbah Kadir, tapi dia punya Nadzar ingin menghajikan seseorang kalau penyakit tumornya sembuh. Dan Allah benar-benar menyembuhkan penyakit pengusaha sukses ini sehingga ketika dia sedang survei untuk membantu korban banjir di

desa Bumi Rejo dia disuruh mampir oleh orang tua yang tak dikenalnya, ialah Mbah Kadir.

Pengusaha itu dijamu dengan istimewa, dimuliakan, dan diceritakan tradisi desa setempat.

Sampai-sampai Mbah Kadir mengungkapkan isi hatinya ingin berangkat Haji. Karena itulah

pengusaha sukses ini terketuk hatinya untuk memberangkatkan Haji, tak lain juga untuk

menyempurnakan janjinya atas sembuhnya penyakit yang telah lama ia derita. Keinginan berangkat Haji simbah tua itu terwujud, kini ia dipanggil; Mbah Kaji Haji Kadir.

***

MBAH Kaji Kadir semakin dihormati masyarakat. Disamping tua ia juga rendah hati kepada sesama. Apalagi ia baru saja datang dari Tanah Suci. Hingga suatu hari saat beliau lewat rumah warga, mereka bergantian menyapa. Hal itu memang wajar bagi Mbah Kaji, karena prilaku kesehariannya menyimpulkan bahwa dirinya memang orang tua yang layak dihormati. 

Suatu hari saat Mbah Kaji bersepeda Ontel menuju ladangnya. Di tengah jalan ia melihat perbuatan yang tidak senonoh. Di balik semak-semak yang rimbun ia melihat perbuatan yang hanya pantas dilakukan pasangan suami-istri. Namun ternyata, kejadian itu dilakukan dua hewan. Kambing jantan Kang Syujak mengelamini kambing betina milik Lik Amin. Sambil tersenyum Mbah Kaji terus bersepeda menuju ladangnya. Untung perbuatan itu dilakukan hewan. Seandainnya dilakukan sepasang manusia yang bukan pada tempatnya alangkah memalukan.

Bahasa tingkah laku Mbah Kaji membuat setiap orang merasa segan, disegani bukan karena sering umbar dalil dan banyak bicara. Katakatanya ia buktikan dalam bentuk perbuatan. Terbukti saat beliau habis pulang dari masjid dan berpapasan dengan seorang gadis yang sedang berpacaran di bawah pohon Mahoni, maka pasangan itu langsung menghindar. Keduanya menjauh sebelum lelaki tua yang bersepeda Ontel itu melewati jalan itu.

Tak hanya orangnya yang membuat orang segan, bahkan Sepeda Ontelnya. Saat diparkir di pinggir jalan maka banyak yang menyangka bahwa pemiliknya pasti tak jauh dari situ. Sebenarnya bukan ontel itu yang membuat orang-orang segan, tapi pemiliknya alias Mbah Kaji Kadir.

                                                                                                            Gresik, 2013








Tentang Penulis : Agus Ibrahim lahir 10 Desember 1990 di desa Sambungrejo, Rengel, Tuban Jawa Timur. Putra pertama dari pasangan H. Syuhada’ dan Hj. Siti Romadlonah. Ia menempuh pendidikan dasar di MI Mambaul Islam Losari Soko Tuban (lulus 2003), MTs Mambaus Sholihin Suci Gresik (lulus 2006), MAK Mambaus Sholihin (lulus 2009). Setamat MAK, ia masuk Fakultas Syari‘ah Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah di Institut Keislaman Abdullah Faqih (INKAFA) Suci Manyar Gresik (Lulus 2013).


          Dalam organisasi ia pernah menjadi Sekretaris OSIS MA Mambaus Sholihin periode 2008-2009, anggota Departemen Bahasa Arab periode 2009- 2010, Sekretaris Pusat OSPMS Pondok Putra Mambaus Sholihin periode 2010-2011. Di bidang Jurnalistik ia pernah menjadi Redaktur dan Lay Outer Majalah AL-FIKRAH mulai 2007 sampai 2011. Ia juga pendiri dan pimpinan umum Koran Mambast Pos sejak 2010 hingga sekarang. Ia juga mengajar Fiqih di Madrasah Diniyah Putra Mambaus Sholihin sejak 2011- sekarang, staf pengajar kursus Bahasa Arab, dan guru Bidang Studi PPKn di MTs Mambaus Sholihin hingga saat ini. Ia menyukai dunia tulis menulis sejak kecil, dan buku ‘Lalat dari Jerman’ ini adalah karya perdananya. Penulis yang sedang menyelesaikan novel ini sekarang masih tinggal di Pon.Pes. Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik. Kritik dan saran bisa dikirim di nomor 085731313185.

0 komentar:

Posting Komentar