From Sukir to Syukron
Ruko
yang berbaris rapi di salah satu sudut kota Surabaya. Suasananya mulai tampak sepi.
Kendaraan yang lalu lalang sudah mulai tak kelihatan. Dalam suasana seperti itu
terlihat seorang pemuda sedang duduk sambil menghisap sebatang rokok.
Batang pembungkus tembakau
itu berwarna hitam. Asap pun mengepul, membelah kesunyian. Sesekali terdengar
umpatan kasar dari mulut pemuda itu. Mengumpat nasib diri yang masih menganggur.
Tatto bergambar bunga merekah
tercetak di dada bidangnya.
Semalam, tak ada yang menemani dirinya tidur di depan ruko itu,
selain sobekan kardus yang ia
jadikan alas.
Subuh telah tiba. Padahal
pemuda itu baru merebahkan raganya pukul 03.00 dini hari. Ia tidak beranjak
meskipun adzan subuh telah memanggil-mangil dengan kencang. Dan waktu subuh
sudah mulai lenyap. Tukang sapu jalan sudah datang membawa sapu lidi di
tangannya. Ia bertopi merah berjalan sambil menyeret celananya yang kedodoran.
Lidi-lidinya menyapu habis daun-daun yang berserakan.
“Kir,
ayo bangun!” ucap si Tukang sapu, membangunkan pemuda itu.
“Kir,
sebentar lagi pemilik toko datang. Nanti kamu dimarahi lagi lho....”
“Jam
berapa, Mbah?” tanya Sukir sambil mengucek matanya.
“Setengah
tujuh, Kir,” jawab si Tukang sapu.
Seorang perempuan lalu
datang.
“Ehh...Kamuu.. lagi, sudah berapa kali kamu aku
peringatkan?” ucap perempuan itu “Cari kerja kan enak, masak tiap hari hanya
begini terus....” lanjutnya.
Pemuda yang bernama Sukir itu
diam saja.
“Bagaimana
mau jadi orang luar biasa kalau kelakuanmu hanya biasa-biasa.”
Kata-kata kasar dari pemilik
ruko memang pantas mendarat di telinga Sukir. Sukir anak yang tak jelas asal
usul keluarganya itu hidupnya tak pernah bernilai positif. Dari pagi hingga
sore, pengangguran yang tak pernah punya ijazah itu hanya membuat susah orang
yang ada di sekelilingnya.
“Ayo
pergi sana! Bosen aku melihat kamu!”
perempuan itu berusaha
mengusir pemuda yang tidur di depan tokonya.
Sukir langsung angkat kaki,
jalannya tak tahu arah. Kakinya lurus tanpa tujuan. Bentakan Bu Srini pagi itu
seperti petir menyambar yang tersimpan kuat di ingatannya. “Bagaimana mau
jadi orang luar biasa, kalau kelakuanmu hanya biasa-biasa.” Dalam hati ia berjanji akan merubah sifat
jelek yang telah bertahun-tahun ia jalani. Menjadi preman, pengamen hingga
pembuat keributan di jalanan. Perkataan perempuan itu benar-benar menjadi
pemaantik niatnya. Hari itu juga ia akan berusaha merubah dirinya. Tapi
masalahannya, di
mana dia akan memulai?
Sukir bingung, ia mematung
melihat mobil-mobil yang tumpah ruah di jalanan. Dalam kebingungan itu ia naik
sebuah angkutan hingga sampai ke JMP. Sukir ngobrol dengan tukang becak dekat
Jembatan Merah Surabaya. Pemuda itu benar-benar ingin Taubat, konsultasinya
pada tukang becak.
“Pak,
aku Sukir. Boleh tanya nggak ya...?”
Sukir memberanikan diri
bertanya pada Tukang becak itu.
“Tanya
apa, Cak?” Tukang becak menanggapi.
“Aku mau tobat, tapi bingung harus kemana dan
bagaimana?”
“Cak,
kalau mau taubat ya pasti di pondok. Gini aja Cak, sampean ikut len SG warna
hijau pupus di sana itu, nanti len itu akan berhenti dekat pondok yang bisa
membuatmu jadi orang alim.” Tutur tukang becak.
Tanpa banyak kata dan tanpa
bawa banyak uang, Sukir menuruti saran tukang becak itu.
Rupanya ia memang sudah bosan
jadi pemuda pengangguran. Sukir lalu naik Len. Hampir seperempat jam, Sukir
lalu turun di tepi jalan. Sukir mencari pondok di daerah sekitar.
Agak lama, akhirnya ia
menemukan pondok kecil. Tapi dia dihadang keamanan pondok saat sampai di
gerbang.
“Mas
mau kemana?” tanya penjaga gerbang.
“Mau
taubat.”
“Hahaha......”
Penjaga gerbang menertawakan.
“Tujuanmu
seperti baik, tapi aku curiga apa hanya akal-akalanmu kemudian hendak melakukan
hal-hal yang buruk di dalam pondok.” Penjaga gerbang tak mempercayai niat
Sukir.
Mantan preman itu diusir.
Sukir berjalan lagi menuju Gunung, menuju makam Wali. Sesampai di tangga makam,
ia langsung menuju tukang juru kunci makam. Ia akan belajar
agama pada juru kunci.
“Pak kenalkan, namaku Sukir. Saya ingin taubat.
Mohon ajari saya tentang agama.”
Juru kunci menyambut bahagia.
Sukir diterima, dan mantan preman itu diberi baju, sarung dan kopyah. Malam itu
juga ia dibimbing untuk menjadi muslim sejati.
***
SUDAH
lebih dari satu minggu Sukir diajari agama oleh Juru kunci makam dan Ta’mir
Masjid. Suatu hari saat Sukir sedang berjalan menuju makam, ia melihat
pengumuman bahasa arab yang ditempel di tembok. Sebuah pengumuman bahasa arab
yang di bagian akhirnya terdapat tulisan dengan font lebih besar, berbunyi; Syukron
Katsir. Sukir sepertinya senang membaca kata itu. Kemampuan membaca arab
sudah ia miliki, walau tak sebegitu lancar. Ia langsung mengganti namanya
dengan kata yang tertulis di pamflet itu, Sukir merasa risih dengan nama yang
selama ini ia sandang. Hari itu juga ia merubah namanya
menjadi Syukron, nama
yang ia anggap seperti nama santri. Dan nama itu disetujui oleh Juru kunci yang
dianggapnya guru.
***
Di
suatu malam Jum‘at, penjaga makam berkata “Syukron, sekarang sampean saya
tugaskan menjaga keamanan di dekat makam. Tolong tertibkan para peziarah.” Syukron
pun langsung berganti baju takwa putih, peci hitam dan bersarung rapi. Ia lalu menuju
ke tempat para yang peziarah memenuhi makam untuk membaca yaasin dan tahlil.
Ratusan peziarah terus
berdatangan. Syukron hanya menjaga
keamanan di kursi duduk yang telah disediakan juru kunci.
“Lho,
kamu seperti pengangguran yang sering tidur di depan rukoku.” Ucap seorang
peziarah perempuan yang berkerudung putih.
“Sekarang
jadi Ustadz ya?” perempuan yang tak lain Bu Srini itu mengejek Syukron hanya
tersenyum.
“Syukron,
tolong sandal yang berserakahan di sana sampean tata.” Kata juru kunci
“Syukron?
O, namamu Syukron sekarang.” Kata Bu Srini.
“Ustadz
Syukron, saya ke makam dulu ya...Jamaah sudah pada baca Tahlil. Saya ke sana
dulu Ustadz....” pamit Bu Srini masih dengan kata-kata yang seperti dulu. Sarat
ledekan.
Setelah merapikan sandal
Syukron duduk kembali. Tiba-tiba matanya melihat orang berjenggot putih,
berpeci putih sedang kebingungan mencari sandalnya yang hilang. Syukron
mendekatinya.
“Pak,
pakai sandal saya saja, soalnya sudah banyak sandal hilang di sini.” Syukron
menyerahkan sandal japitnya.
“Ndak
usah.” Pak tua itu menolak.
“Nggak
apa-apa Pak,” Syukron memaksa, akhirnya orang tua itu mau menerima sandal pemberian
Syukron.
“Terima
kasih nak. Saya tidak bisa membalas budi baik sampean.” Pak tua itu menyerahkan
uang pada Syukron atas pemberian sandal. Tapi Syukron menolak.
“Saya
ndak mau uang pak,” kata Syukron menolak pemberian Pak Tua.
“Maunya
apa?” Pak tua mendesak.
“Mau
masuk Pondok Pak.” Jawaban itu muncul seketika.
“Ya
udah, habis ini ikut ke pondok saya saja”
Hari itu juga Syukron diajak
pergi ke Pondok pak tua. Tak tahunya kalau Pak Tua tadi adalah pengasuh pondok
kecil yang pernah didatangi Syukron saat mau tobat tempo hari. Setelah pamit dengan
juru kunci, Syukron berangkat ikut mobil Pak Tua yang dikenal dengan sapaan
Kyai Bashir.
***
KEDATANGAN
Syukron disambut hangat keluarga ndalem. Syukron menimba ilmu di
pondok itu sekaligus menjadi
pelayan keluarga ndalem.
Ustadz
Syukron nanti ikut pembukaan latihan pidato di aula ya?” Santri pondok itu memanggil
dengan gelar Ustadz. Santri-santri melihat tampang Syukron memang seperti
Ustadz. juga karena Syukron akrab dengan keluarga ndalem terutama Kyai
Bashir.
Dalam hati Syukron merasa
malu dengan julukan itu. Sudah berulangkali ia melarang para
santri memanggil dirinya
dengan julukan itu. Namun mereka seperti tidak menghiraukannya.
Suatu malam Syukron
menjalankan sholat malam. Kamarnya berdekatan dengan rumah kyai
Bashir. Syukron lalu berdoa
sambil menangis: “Ya Allah aku malu pada-Mu. Aku adalah orang kotor, hatiku
kotor, sifatku kotor. Tapi mengapa para santri memanggilku Ustadz. Mereka belum
tahu kalau tanganku sudah berkali-kali menjambret, memukul orang dan
mempermainkan paha perempuan. Ya Allah ampuni semua dosa-dosa yang telah lalu.
Ya Allah bi Khusnil Khotimah....”.
Seperi
biasa, malam itu Kyai Bashir juga melaksanakan Qiyamul Lail. Pengasuh
pondok tempat Syukron menimba ilmu itu mendengar rintihan tangis yang
tersedu-sedu.
“Astaghfirullah,
ucap Kyai Bashir di dekat kamar Syukron. Lebih baik mantan Preman dari pada
mantan Kyai. Gumam Kyai Bashir di dalam hati.
Suci-Gresik, 2013
Suci - Gresik, 2013
Tentang Penulis : Agus Ibrahim lahir 10 Desember 1990 di
desa Sambungrejo, Rengel, Tuban Jawa Timur. Putra pertama dari pasangan H.
Syuhada’ dan Hj. Siti Romadlonah. Ia menempuh pendidikan dasar di MI Mambaul Islam
Losari Soko Tuban (lulus 2003), MTs Mambaus Sholihin Suci Gresik (lulus 2006),
MAK Mambaus Sholihin (lulus 2009). Setamat MAK, ia masuk Fakultas Syari‘ah
Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah di Institut Keislaman Abdullah Faqih (INKAFA) Suci Manyar Gresik
(Lulus 2013).
Dalam organisasi ia pernah menjadi Sekretaris OSIS MA
Mambaus Sholihin periode 2008-2009, anggota Departemen Bahasa Arab periode
2009- 2010, Sekretaris Pusat OSPMS Pondok Putra Mambaus Sholihin periode
2010-2011. Di bidang Jurnalistik ia pernah menjadi Redaktur dan Lay Outer Majalah
AL-FIKRAH mulai 2007 sampai 2011. Ia juga pendiri dan pimpinan umum Koran
Mambast Pos sejak 2010 hingga sekarang. Ia juga mengajar Fiqih di Madrasah Diniyah Putra
Mambaus Sholihin sejak 2011- sekarang, staf pengajar kursus Bahasa Arab, dan
guru Bidang Studi PPKn di MTs Mambaus Sholihin hingga saat ini. Ia menyukai
dunia tulis menulis sejak kecil, dan buku ‘Lalat dari Jerman’ ini adalah
karya perdananya. Penulis yang sedang menyelesaikan novel ini sekarang masih
tinggal di Pon.Pes. Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik. Kritik dan saran bisa
dikirim di nomor 085731313185.
0 komentar:
Posting Komentar