468x60 Ads

From Sukir to Syukron. Cerpen Ketujuh dalam Buku Kumpulan Cerpen Lalat dari Jerman





From Sukir to Syukron


Ruko yang berbaris rapi di salah satu sudut kota Surabaya. Suasananya mulai tampak sepi. Kendaraan yang lalu lalang sudah mulai tak kelihatan. Dalam suasana seperti itu terlihat seorang pemuda sedang duduk sambil menghisap sebatang rokok.
Batang pembungkus tembakau itu berwarna hitam. Asap pun mengepul, membelah kesunyian. Sesekali terdengar umpatan kasar dari mulut pemuda itu. Mengumpat nasib diri yang masih menganggur. Tatto bergambar bunga merekah
tercetak di dada bidangnya. Semalam, tak ada yang menemani dirinya tidur di depan ruko itu,
selain sobekan kardus yang ia jadikan alas.
Subuh telah tiba. Padahal pemuda itu baru merebahkan raganya pukul 03.00 dini hari. Ia tidak beranjak meskipun adzan subuh telah memanggil-mangil dengan kencang. Dan waktu subuh sudah mulai lenyap. Tukang sapu jalan sudah datang membawa sapu lidi di tangannya. Ia bertopi merah berjalan sambil menyeret celananya yang kedodoran. Lidi-lidinya menyapu habis daun-daun yang berserakan.
“Kir, ayo bangun!” ucap si Tukang sapu, membangunkan pemuda itu.
“Kir, sebentar lagi pemilik toko datang. Nanti kamu dimarahi lagi lho....”
“Jam berapa, Mbah?” tanya Sukir sambil mengucek matanya.
“Setengah tujuh, Kir,” jawab si Tukang sapu.
Seorang perempuan lalu datang.
“Ehh...Kamuu.. lagi, sudah berapa kali kamu aku peringatkan?” ucap perempuan itu “Cari kerja kan enak, masak tiap hari hanya begini terus....” lanjutnya.
Pemuda yang bernama Sukir itu diam saja.
“Bagaimana mau jadi orang luar biasa kalau kelakuanmu hanya biasa-biasa.”
Kata-kata kasar dari pemilik ruko memang pantas mendarat di telinga Sukir. Sukir anak yang tak jelas asal usul keluarganya itu hidupnya tak pernah bernilai positif. Dari pagi hingga sore, pengangguran yang tak pernah punya ijazah itu hanya membuat susah orang yang ada di sekelilingnya.
“Ayo pergi sana! Bosen aku melihat kamu!”
perempuan itu berusaha mengusir pemuda yang tidur di depan tokonya.
Sukir langsung angkat kaki, jalannya tak tahu arah. Kakinya lurus tanpa tujuan. Bentakan Bu Srini pagi itu seperti petir menyambar yang tersimpan kuat di ingatannya. “Bagaimana mau jadi orang luar biasa, kalau kelakuanmu hanya biasa-biasa.”  Dalam hati ia berjanji akan merubah sifat jelek yang telah bertahun-tahun ia jalani. Menjadi preman, pengamen hingga pembuat keributan di jalanan. Perkataan perempuan itu benar-benar menjadi pemaantik niatnya. Hari itu juga ia akan berusaha merubah dirinya. Tapi masalahannya, di
mana dia akan memulai?
Sukir bingung, ia mematung melihat mobil-mobil yang tumpah ruah di jalanan. Dalam kebingungan itu ia naik sebuah angkutan hingga sampai ke JMP. Sukir ngobrol dengan tukang becak dekat Jembatan Merah Surabaya. Pemuda itu benar-benar ingin Taubat, konsultasinya pada tukang becak.
“Pak, aku Sukir. Boleh tanya nggak ya...?”
Sukir memberanikan diri bertanya pada Tukang becak itu.
“Tanya apa, Cak?” Tukang becak menanggapi.
 “Aku mau tobat, tapi bingung harus kemana dan bagaimana?”
“Cak, kalau mau taubat ya pasti di pondok. Gini aja Cak, sampean ikut len SG warna hijau pupus di sana itu, nanti len itu akan berhenti dekat pondok yang bisa membuatmu jadi orang alim.” Tutur tukang becak.
Tanpa banyak kata dan tanpa bawa banyak uang, Sukir menuruti saran tukang becak itu.
Rupanya ia memang sudah bosan jadi pemuda pengangguran. Sukir lalu naik Len. Hampir seperempat jam, Sukir lalu turun di tepi jalan. Sukir mencari pondok di daerah sekitar.
Agak lama, akhirnya ia menemukan pondok kecil. Tapi dia dihadang keamanan pondok saat sampai di gerbang.
“Mas mau kemana?” tanya penjaga gerbang.
“Mau taubat.”
“Hahaha......” Penjaga gerbang menertawakan.
“Tujuanmu seperti baik, tapi aku curiga apa hanya akal-akalanmu kemudian hendak melakukan hal-hal yang buruk di dalam pondok.” Penjaga gerbang tak mempercayai niat Sukir.
Mantan preman itu diusir. Sukir berjalan lagi menuju Gunung, menuju makam Wali. Sesampai di tangga makam, ia langsung menuju tukang juru kunci makam. Ia akan belajar
agama pada juru kunci.
 “Pak kenalkan, namaku Sukir. Saya ingin taubat. Mohon ajari saya tentang agama.”
Juru kunci menyambut bahagia. Sukir diterima, dan mantan preman itu diberi baju, sarung dan kopyah. Malam itu juga ia dibimbing untuk menjadi muslim sejati.
***
SUDAH lebih dari satu minggu Sukir diajari agama oleh Juru kunci makam dan Ta’mir Masjid. Suatu hari saat Sukir sedang berjalan menuju makam, ia melihat pengumuman bahasa arab yang ditempel di tembok. Sebuah pengumuman bahasa arab yang di bagian akhirnya terdapat tulisan dengan font lebih besar, berbunyi; Syukron Katsir. Sukir sepertinya senang membaca kata itu. Kemampuan membaca arab sudah ia miliki, walau tak sebegitu lancar. Ia langsung mengganti namanya dengan kata yang tertulis di pamflet itu, Sukir merasa risih dengan nama yang selama ini ia sandang. Hari itu juga ia merubah namanya
menjadi Syukron, nama yang ia anggap seperti nama santri. Dan nama itu disetujui oleh Juru kunci yang dianggapnya guru.
***
Di suatu malam Jum‘at, penjaga makam berkata “Syukron, sekarang sampean saya tugaskan menjaga keamanan di dekat makam. Tolong tertibkan para peziarah.” Syukron pun langsung berganti baju takwa putih, peci hitam dan bersarung rapi. Ia lalu menuju ke tempat para yang peziarah memenuhi makam untuk membaca yaasin dan tahlil.
Ratusan peziarah terus berdatangan. Syukron  hanya menjaga keamanan di kursi duduk yang telah disediakan juru kunci.
“Lho, kamu seperti pengangguran yang sering tidur di depan rukoku.” Ucap seorang peziarah perempuan yang berkerudung putih.
“Sekarang jadi Ustadz ya?” perempuan yang tak lain Bu Srini itu mengejek Syukron hanya tersenyum.
“Syukron, tolong sandal yang berserakahan di sana sampean tata.” Kata juru kunci
“Syukron? O, namamu Syukron sekarang.” Kata Bu Srini.
“Ustadz Syukron, saya ke makam dulu ya...Jamaah sudah pada baca Tahlil. Saya ke sana dulu Ustadz....” pamit Bu Srini masih dengan kata-kata yang seperti dulu. Sarat ledekan.
Setelah merapikan sandal Syukron duduk kembali. Tiba-tiba matanya melihat orang berjenggot putih, berpeci putih sedang kebingungan mencari sandalnya yang hilang. Syukron mendekatinya.
“Pak, pakai sandal saya saja, soalnya sudah banyak sandal hilang di sini.” Syukron
menyerahkan sandal japitnya.
“Ndak usah.” Pak tua itu menolak.
“Nggak apa-apa Pak,” Syukron memaksa, akhirnya orang tua itu mau menerima sandal pemberian Syukron.
“Terima kasih nak. Saya tidak bisa membalas budi baik sampean.” Pak tua itu menyerahkan uang pada Syukron atas pemberian sandal. Tapi Syukron menolak.
“Saya ndak mau uang pak,” kata Syukron menolak pemberian Pak Tua.
“Maunya apa?” Pak tua mendesak.
“Mau masuk Pondok Pak.” Jawaban itu muncul seketika.
“Ya udah, habis ini ikut ke pondok saya saja”
Hari itu juga Syukron diajak pergi ke Pondok pak tua. Tak tahunya kalau Pak Tua tadi adalah pengasuh pondok kecil yang pernah didatangi Syukron saat mau tobat tempo hari. Setelah pamit dengan juru kunci, Syukron berangkat ikut mobil Pak Tua yang dikenal dengan sapaan Kyai Bashir.
***
KEDATANGAN Syukron disambut hangat keluarga ndalem. Syukron menimba ilmu di
pondok itu sekaligus menjadi pelayan keluarga ndalem.
Ustadz Syukron nanti ikut pembukaan latihan pidato di aula ya?” Santri pondok itu memanggil dengan gelar Ustadz. Santri-santri melihat tampang Syukron memang seperti Ustadz. juga karena Syukron akrab dengan keluarga ndalem terutama Kyai Bashir.
Dalam hati Syukron merasa malu dengan julukan itu. Sudah berulangkali ia melarang para
santri memanggil dirinya dengan julukan itu. Namun mereka seperti tidak menghiraukannya.
Suatu malam Syukron menjalankan sholat malam. Kamarnya berdekatan dengan rumah kyai
Bashir. Syukron lalu berdoa sambil menangis: “Ya Allah aku malu pada-Mu. Aku adalah orang kotor, hatiku kotor, sifatku kotor. Tapi mengapa para santri memanggilku Ustadz. Mereka belum tahu kalau tanganku sudah berkali-kali menjambret, memukul orang dan mempermainkan paha perempuan. Ya Allah ampuni semua dosa-dosa yang telah lalu. Ya Allah bi Khusnil Khotimah....”.
Seperi biasa, malam itu Kyai Bashir juga melaksanakan Qiyamul Lail. Pengasuh pondok tempat Syukron menimba ilmu itu mendengar rintihan tangis yang tersedu-sedu.   
Astaghfirullah, ucap Kyai Bashir di dekat kamar Syukron. Lebih baik mantan Preman dari pada mantan Kyai. Gumam Kyai Bashir di dalam hati.
Suci-Gresik, 2013
                                                                                                   Suci - Gresik, 2013



Tentang Penulis : Agus Ibrahim lahir 10 Desember 1990 di desa Sambungrejo, Rengel, Tuban Jawa Timur. Putra pertama dari pasangan H. Syuhada’ dan Hj. Siti Romadlonah. Ia menempuh pendidikan dasar di MI Mambaul Islam Losari Soko Tuban (lulus 2003), MTs Mambaus Sholihin Suci Gresik (lulus 2006), MAK Mambaus Sholihin (lulus 2009). Setamat MAK, ia masuk Fakultas Syari‘ah Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah di Institut Keislaman Abdullah Faqih (INKAFA) Suci Manyar Gresik (Lulus 2013).

          Dalam organisasi ia pernah menjadi Sekretaris OSIS MA Mambaus Sholihin periode 2008-2009, anggota Departemen Bahasa Arab periode 2009- 2010, Sekretaris Pusat OSPMS Pondok Putra Mambaus Sholihin periode 2010-2011. Di bidang Jurnalistik ia pernah menjadi Redaktur dan Lay Outer Majalah AL-FIKRAH mulai 2007 sampai 2011. Ia juga pendiri dan pimpinan umum Koran Mambast Pos sejak 2010 hingga sekarang. Ia juga mengajar Fiqih di Madrasah Diniyah Putra Mambaus Sholihin sejak 2011- sekarang, staf pengajar kursus Bahasa Arab, dan guru Bidang Studi PPKn di MTs Mambaus Sholihin hingga saat ini. Ia menyukai dunia tulis menulis sejak kecil, dan buku ‘Lalat dari Jerman’ ini adalah karya perdananya. Penulis yang sedang menyelesaikan novel ini sekarang masih tinggal di Pon.Pes. Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik. Kritik dan saran bisa dikirim di nomor 085731313185.




0 komentar:

Posting Komentar