468x60 Ads

Surat Kecil dari Kakak. Cerpen Kedua dalam Buku Kumpulan Cerpen Lalat dari Jerman










Surat Kecil dari Kakak

Hasan memiliki adik perempuan, namanya Ninis. Kedua saudara itu sedang mendalami ilmu agama di pesantren At-Thahiriyyah. Hal itu sesuai dengan wasiat kekek mereka. Ninis seorang gadis belia yang belum mengenal cinta. Remaja putri yang sering mengenakan jilbab warna hitam dipadu gaun hijau itu masih duduk di kelas tiga MTs. rutinitasnya berkisar antara mengaji, belajar, dan membaca.
Siang yang pengap. Ninis tampak sedang asyik membaca buku. Berteman selembar kipas kertas untuk mengusir peluh. Seorang gadis berjilbab warna merah mendadak menghampirinya
“Nis, ini ada surat untukmu. Dari santri putra!” ucap gadis itu.
“Santri Putra!?” tanya Ninis kaget dan penasaran.
“Ya,”
Ninis merasa takut, pun penasaran. Selama ini ia merasa tidak mengenal lelaki di lingkungan itu. Dan kini dia mendapatkan sebuah surat.
“Orangnya gimana, Mbak,” tanya Ninis.
“Orangnya tinggi. Wajahnya tidak terlalu tampan. Ia memakai jaket warna biru.”. Ninis tahu siapa orang itu. Kembali dia bertanya
“Mbak, dia tadi menunggu lama di kantor pemanggilan?”
“Ya, saking lamanya menunggu, dia pun pamit. Katanya ada janji dengan seseorang dan menitipkan surat ini untukmu.”
“O, kalau itu ya Kakakku, Mbak,” ucap Ninis lega.
Ninis merasa lega setelah mengetahui ciri-ciri pria yang menitipkan surat itu. Ia menghela nafas. Semula dia mengira, ada pria yang iseng dan ingin menggodanya.
***
DI MUSHOLA pondok putri At Thahiriyyah puji-pujian dan sholawat menggema. Menyongsong  saat magrib. Para santriwati mulai berdatangan. Membawa sajadah warna-warni dan bergambar masjid Nabawi. Mereka telah mengenakan mukena putih, membawa Al Qur’an serta buku mungil Nadlam Imrithy.
Seorang santri yang memakai mukena berbordir bunga mawar datang. Ia lalu membeber sajadah merahnya. Ia tampak sibuk dengan diri sendiri dan tidak menoleh sama sekali ke arah teman-temannya. Tina, demikianlah ia biasa dipanggil. Salah satu santri andalan yang pernah mendapatkankan berbagai piagam dalam ajang lomba nasional. Ketika sajadah merahnya mulai terbentang di atas lantai, air matanya mendadak menetas, membasahi mukena.
“Kenapa kau menangis, Tin?” tanya seorang teman yang ada di dekatnya.
“Aku tak tega melihat Ninis menangis sesenggukan.”
“Ninis menangis lagi? Apa dia nekat akan boyong lagi dengan cara kabur seperti kemarin?” tanya Sholihah.
Tina menggelengkan kepala. Ia menceritakan, bahwa Ninis diliputi kesedihan saat menatap foto ibunya. Ia lalu mendekati Ninis dari arah belakang. “Kamu jangan mengecewakan Ibu di Rumah, kamu boleh pindah pondok kalau sudah lulus dan bisa masuk wisuda Imrithy” bunyi tulisan di kertas kecil yang dipegang Ninis dan terbaca oleh Tina dari belakang.
Sebenarnya Ninis memang tidak kerasan di pondok. Namun orangtuanya melarang dirinya boyong sebelum lulus kelas tiga MTs dan bisa mengikuti Wisuda Imrithy. Sebuah ajang paling ditunggu, dan untuk bisa lolos wisuda tersebut harus melewati beberapa audisi. Salah satunya menghafal nadham Imrity dan Maqsud. Kumandang iqomah terdengar, membuyarkan suasana. Ninis melipat kertas itu lalu menyelipkannya di dalam buku nadham Imrithy. Kertas itu adalah surat dari kakaknya.
***
NINIS bertekad ingin membahagiakan Ibu bapaknya. Pun tidak mengecewakan kakaknya. Ia mengikis keinginan pindah dan boyong. Dia sadar seakan mendapat lecutan semangat dari surat kakaknya. Setiap hari ia berusaha menghafalkan nadham yang berjumlah dua ratus lima puluh empat baris.
Setelah dua minggu hasil jerih payahnya mulai tampak. Ninis telah mampu menghafalnya. Kini ia berkonsentrasi pada buku selanjutnya, nadham maqsud. Setiap hari ia juga membacanya berulang-ulang. Agar hafalannya menancap. Kini, dia tinggal menunggu audisi untuk bisa ikut wisuda.
Waktu terus saja berjalan. Ninis tidak menyadari kalau minggu depan sudah tanggal 5 April. Pendaftaran audisi dimulai. “Ninis, silahkan maju,” panggil team penguji audisi di ruangan lantai dua.
“Ya, Bu,” Ninis berjalan menuju kursi di depan penguji.
“Nis , pengujimu nanti pak Jufri!,”
Hati Ninis mendadak deg-degan. Ia tidak menyangka kalau penguji hafalannya nanti Pak Jufri. Seorang ustadz asal Kediri yang terkenal galak. Sempat dijuluki killer di pesantren At-Thahiriyyah. Perlahan rasa percaya diri gadis itu luntur.
Dan hari itu pun tiba.
“Kamu Ninis?” tanya pak Jufri sambil menatap santriwati di depannya.
“Ya, Pak,” jawab Ninis. Tubuhnya gemeteran. Nyalinya mulai menciut, dihantam tatapan ustadz Jufri.
“Kamu siap?”
Ninis mengangguk
“Sekarang coba baca bait Imrithy 33-45?. Jangan lamban, yang lain sudah pada menunggu.”
Ninis masih belum mengeluarkan ucapan. Tiba-tiba ia merogoh saku bajunya.
 “Kamu mau lihat sobekan kitab?” ucap Pak Jufri saat melihat Ninis merogoh saku.
“Tid…tidak, Pak. Saya cuma mau baca Al-Fatihah untuk ibu dan guru saya yang tertera di surat kakak saya.”
Aneh, setelah membaca surat itu semangat Ninis mulai meletup kembali. Seperti ada kekuatan yang membantunya sehingga rasa optimisnya kembali berkobar. Ketakutannya pada kegagalan ikut audisi menjadi jauh lebih besar daripada pada tatapan pak Jufri. Hampir semua pertanyaan sanggup ia jawab. Hanya satu dua yang tidak bisa ia jawab, terlebih saat sampai di bab idlofah.
“Tina,” panggil team penguji saat Ninis telah selesai. Ia lalu keluar ruangan dengan perasaan lega, dan langsung menuju kamarnya.
***
PENGUMUMAN hasil audisi wisuda imrity dan maqsud telah dipasang. Para peserta berjubel di  depan Mading sekolah. Mereka ribut membaca hasil pengumuman. Ninis lalu menyelinap di kerumunan itu. Ia langsung menuju ke depan kaca madding, berusaha mencari namanya.
“Tin, namaku kok tidak ada. Aku tidak lolos, hiks…hiks…,” Ninis menggoyang-goyang pundak Tina yang juga ikut membaca pengumuman. Mata Ninis merah dan kembali meneteskan air mata.
Tiba-tiba Tina berkata
“Nis, namamu ada di kertas yang ini. Di bawah namaku. Namamu tercantum di kertas pengumuman urutan lembar kertas kedua”
Ninis mengikuti arah telunjuk Tina dengan tatapan matanya. Betapa lega hati gadis itu kala tahu namanya tertera di lembar pengumuman kedua. Matanya kembali berbinar, riang. Tina lalu memeluk Ninis yang masih merah bola matanya. Sementara peserta yang tertera namun nilainya kosong langsung menjerit histeris. Bahkan ada yang sampai pingsan. Ninis berjalan ke kamarnya untuk mengambil uang. Ia berniat menelpon kakaknya. Namun di tengah jalan Ninis sadar, ada catatan penting di pengumuman itu yang dia lewatkan. Catatan yang berbunyi, ‘Masuk wisuda imrithy nilai minimal 80.’. Dan saat salah satu temannya menjelaskan tentang kriteria nilai minimal untuk masuk wisuda, Ninis paham bahwa dirinya tidak lolos. Pandangan Ninis tiba-tiba berkunangkunang, dan ia tak sadarkan diri.
Hingga dua hari berikutnya batin Ninis masih terguncang. Ia masih belum bisa menerima kenyataan, bahwa dirinya gagal. Bumi yang ia pijak seakan berputar, langit seolah runtuh. Tiba-tiba saja gadis itu menaiki tangga, menuju lantai tiga. Pemandangan pohon yang hijau di matanya seakan gelap.
“Ninis…..Ninis….Ninis….” teriak temantemanya dari kejauhan, saat mereka melihat Ninis berada di lantai tiga. Berdekatan pagar.
“Dengar, Nis ! Ada pertimbangan para guru bagi yang nilainya 79. mereka tetap boleh ikut wisuda. Sebab lebih dari lima belas anak dari 230 peserta nilainya seperti nilaimu. Santri yang mendapat nilai kurang satu poin untuk mencapai nilai delapan puluh tetap diluluskan!”
Di atas, tampak Ninis tersenyum.
***
AHAD tanggal 27 Mei 2012 hari istimewa bagi Ninis dan keluarganya. Rombongan mobil keluarganya tiba di Pondok pada pukul tujuh. Ninis sudah memakai toga didampingi Ibu, Bapak dan kakaknya. Harapannya untuk bisa masuk Wisuda Imrithy-Maqsud telah tercapai. Ibunya merangkulnya dan menitikkan air mata. Kakaknya hanya diam saja, memandangi si adik yang menatap langit biru dengan hati gembira.
“Kak, terima kasih atas motivasi yang tertulis di surat dulu.”.
Ninis menyalami tangan kakaknya. Kemudian ia menuju podium untuk menjalani prosesi wisuda oleh kepala sekolah MTs At Thahiriyyah.
                                                                                                   Gresik, 2013




Tentang Penulis : Agus Ibrahim lahir 10 Desember 1990 di desa Sambungrejo, Rengel, Tuban Jawa Timur. Putra pertama dari pasangan H. Syuhada’ dan Hj. Siti Romadlonah. Ia menempuh pendidikan dasar di MI Mambaul Islam Losari Soko Tuban (lulus 2003), MTs Mambaus Sholihin Suci Gresik (lulus 2006), MAK Mambaus Sholihin (lulus 2009). Setamat MAK, ia masuk Fakultas Syari‘ah Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah di Institut Keislaman Abdullah Faqih (INKAFA) Suci Manyar Gresik (Lulus 2013).

          Dalam organisasi ia pernah menjadi Sekretaris OSIS MA Mambaus Sholihin periode 2008-2009, anggota Departemen Bahasa Arab periode 2009- 2010, Sekretaris Pusat OSPMS Pondok Putra Mambaus Sholihin periode 2010-2011. Di bidang Jurnalistik ia pernah menjadi Redaktur dan Lay Outer Majalah AL-FIKRAH mulai 2007 sampai 2011. Ia juga pendiri dan pimpinan umum Koran Mambast Pos sejak 2010 hingga sekarang. Ia juga mengajar Fiqih di Madrasah Diniyah Putra Mambaus Sholihin sejak 2011- sekarang, staf pengajar kursus Bahasa Arab, dan guru Bidang Studi PPKn di MTs Mambaus Sholihin hingga saat ini. Ia menyukai dunia tulis menulis sejak kecil, dan buku ‘Lalat dari Jerman’ ini adalah karya perdananya. Penulis yang sedang menyelesaikan novel ini sekarang masih tinggal di Pon.Pes. Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik. Kritik dan saran bisa dikirim di nomor 085731313185.


1 komentar:

Digitekol mengatakan...

http://novelsemprot.rf.gd

Posting Komentar