Wakijo Penjaga
Pasar
Pasar di pagi hari yang masih ditemani gerimis.
Suasana sepi. Toko-toko masih
tutup.
Jalanan becek oleh air hujan membuat banyak orang malas ke pasar. Di depan
toko
Mitra Usaha terlihat sosok seorang lelaki. Badannya kurus, rambut gimbal, baju tak
karukaruan.
Ia
duduk di depan toko dan berbicara sendiri, seakan berpetuah pada angin. Orang-
di pasar biasa memanggilnya Wakijo.
Wakijo tidak jelas asal-usulnya. Ia
tiba-tiba muncul di pasar itu sekitar sepuluh tahun lalu, saat pasar sedang
kebakaran. Menurut beberapa orang, Wakijo dulunya orang kaya yang bangkrut dari
usahanya. Dan kemiskinanan yang ia alami menjadi beban berat yang selalu
menindih pikirannya sehingga ia menjadi gila.
Aktivitasnya sehari-hari hanya berdiam di tengah
pasar. Sesekali berteriak-teriak sendiri. Ketika mengawasi anak kecil yang ikut
orang tuanya belanja di pasar, Wakijo sering tertawa terbahak-bahak. Bagi orang
pasar sudah wajar. Makan dan minumnya datang sendiri dari uluran
pemilik
toko yang bergilir. Sering pula dia makan nasi sisa, buah-buahan serta aneka
jajan di tempat
sampah.
Orang ini tak pernah mengeluhkan rasa sakit pada luka di kaki kirinya, akibat
menginjak
paku
saat kebakaran sepuluh tahun silam. Ia hanya tertawa dan tertawa.
Pagi yang ditingkapi girimis sudah habis. Sinar
Matahari yang menyengat menerpa genting
toko-toko
di pasar. Wakijo sepertinya tak pernah merasakan panas, ia tetap diam dan
tertawa
bergurau
dengan angin. Mungkin angin adalah penghiburnya. Rambutnya tak pernah bergerak
ketika
angin menerpa. Maklum rambut gimbalnya tak pernah dibasuh air sampoo. Suasana
pasar mulai ramai. Para pembeli dari berbagai lapisan masyarakat berjubel di kerumunan
pasar untuk memenuhi kubutuhannya. Di tengah jalan yang sedang dikuasai Wakijo
duduk bersila, kemudian berubah rame. Beberapa mobil berhenti, dan
sekelompok polisi pamong praja turun ke depan pasar. Para aktivis ketertiban
kota itu mengamankan para penjual liar yang mendirikan tenda di depan pasar
tanpa
izin. Beberapa dari mereka berlaku kasar, dengan langsung mengobrak-abrik
pedagang kaki
lima
yang berjualan di depan pasar. Teriak histeris para ibu pecah. Mereka yang tak
punya pekerjaan
menolak
tindakan satpol PP yang merusak tenda dagangan.
“Pak, kami kerja apa, kalau dagangan kami dirusak
paksa seperti ini? Kami sudah susah payah cari lapangan kerja yang halal, kami
sudah susah payah membangun tenda, kenapa sekarang
dirobohkan
paksa seperti ini. Bagaimana seandainya bapak jadi orang seperti kami... He!” omelan
seorang perempuan penjual sandal yang tendanya ikut dirobohkan.
“Jangan banyak omong!”
Tiga puluh lima menit pasar tampak berserakan,
tenda-tenda liar depan pasar telah rata. Sementara Wakijo yang melihat kejadian
itu hanya tertawa ria dan tetap konsentrasi menangkap angin yang berhembus
mesra. Wakijo benar-benar sedang bermesraan dengan angin.
***
MALAM tiba menyambut Wakijo. Orang gila itu
tetap khusyuk menikmati angin berhembus di
pasar,
baru setengah jam kemudian ia berjalan di tepi pasar mencari sisa makanan di
bongkahan
tenda
pedagang kaki lima yang telah dirobohkan. Tangannya menemukan sebungkus nasi
yang agaknya masih bisa dimakan sehingga ia menyantap makanan itu. Tangannya
kembali merogoh kardus yang berisi buah jeruk yang telah busuk, tapi ia
memungut juga dan menelannya.
Tiba-tiba ia membuang jeruk itu dari
tangannya saat ia mendapati sobekan kertas yang bertuliskan ayat suci al-
Qur’an. Ia mencium kertas itu, kemudian tertawa-ria. Sesudah perutnya terisi
makanan, ia tidur di depan toko Mitra Usaha seperti malam-malam yang lalu.
Wakijo menikmati malam yang larut dan dirangkul mesra oleh dingin malam.
***
PAK LUKMAN termasuk satu diantara pedagang
kali lima yang sudah tak punya lapangan pekerjaan setelah kejadian kemarin
siang di pasar. Ia kini bingung mencari pekerjaan untuk bisa menghidupi dua
anak dan istrinya. Laki-laki bertubuh gemuk ini mondar-mandir membawa map untuk
melamar pekerjaan, tapi tak membuahkan hasil. Dia mulai putus asa, dan ia memutuskan
akan pergi ke dukun untuk meminta nomor togel. Jalan pintas yang ia yakini bisa
segera merubah nasibnya menjadi lebih mujur. Ketika terik mentari semakin
terasa, Pak Lukman berangkat ke rumah Mbah Jarwo. Dukun tua yang sangat
pengalaman masalah pesugihan. Sepeda motornya berhenti di depan plang bertuliskan
“Mbah Jarwo, Dukun Sakti Membawa Keberuntungan”.
Pak Lukman langsung masuk ke dalam rumah tanpa
uluk salam. Di dalam rumah yang
dindingnya
dihiasi pigura gambar burung gagak itu tak tampak Mbah Jarwo, hanya perempuan
cantik,
berbadan langsing dan berambut panjang.
“Mbah Jarwo ada?” tanya Pak Lukman.
“Maaf, Mbah Jarwo lagi ke pasar membeli menyan,”
“Sambil menunggu Mbah Jarwo datang, mending
nunggu di kamar saja, enak lho...” ucap
perempuan
itu dengan senyum yang mengisyaratkan kemesuman.
“Astagfirullah,” ucap
Pak Lukman lalu keluar tanpa pamit.
“Aku khilaf, kenapa aku memilih jalan gelap,
padahal pergi ke dukun adalah pekerjaan musyrik, apalagi minta pertolongan pada
orang yang prilaku kesehariannya jauh dari tuntunan agama. Astaghfirullah....” gumam
Pak Lukman dalam hati penuh penyesalan.
Tanpa pikir panjang, Pak Lukman langsung menuju
rumah Mbah Shodiq. Kyai sepuh yang
diyakini
sebagian masyarakat sebagai seorang sufi. Jarak rumah kiai Shodiq lumayan jauh,
dan
ditempuh
pak Lukman dengan sepeda motornya.
“Assalamualaikum, Mbah?” Pak Lukman mengetuk
pintu dengan sopan
“Wa`alaikum salam. Monggo selahkan
masuk,” jawab Kyai dari dalam
“Ada perlu apa?” tanya Kyai Shodiq dengan sopan
“Kyai, mohon doa dan amalan untuk memperlancar
rizki. Semenjak dagangan saya
terkena
penertiban saya sudah tak kerja lagi,”
“O itu. Baca Ya Rozzaq sebanyak 117,
baca surat al Waqi’ah. Waktunya usai shubuh. Dan akan saya tunjukkan
tempat seorang Kyai besar, meskipun identitas lahirnya tidak banyak yang
mengenali. Coba datangi beliau dan mintalah doanya. Semoga Allah mengabulkan
maksud kamu dengan barokah Doa kiai itu.” Lanjut Kyai Shodiq. Ia kiai Shodiq
lalu menuliskan ciri-ciri dan kebiasaan orang yang dia katakan sebagai Kiai
besar yang terselubung itu.
“Terima kasih, Mbah. Insyaallah besok usai Sholat
Jum’at saya akan mendatanginya,”
Pak Lukman lalu berpamitan pulang. Seusai
sholat shubuh Pak Lukman mulai mengamalkan ijazah dari Kyai Shodiq, ia membaca Ya
Rozzaq dan membaca surat al Waqiah dengan tartil. Tak lupa sebuah
doa selalu diucapkan dengan khusyuk usai melafalkan ijazah dari Kyai Shodiq.
***
MALAM Jumat sehabis sholat Isya’, Pak Lukman
berdiri di depan rumahnya. Ia menikmati
malam
yang bertaburan bintang. Ia berharap Allah memberi Rizqi yang lancar lewat
pekerjaan barunya. Pak Lukman membuka warung kopi kecil-kecilan di samping
rumahnya. Dan hasil dari warung itu cukup untuk biaya sekolah kedua anaknya,
juga kebutuhan sehari-hari keluarga.
Malam Jumat ini hanya ada Mas Rafi, Pak Sabar
dan Pak Galih yang mampir di warungnya.
Bagi
Pak Lukman, satu maupun dua orang yang mampir di warungnya tetap disyukuri
sebagai rizki pemberian Allah. Ia tak pernah mengungkit-ungkit dengan
amalannya, kalaupun sudah membaca usai shubuh berkali-kali tetap tidak membuat
rizqinya lancar, ia tetap mensyukuri bahwa Allah belum memberi rizki banyak
pada dirinya lantaran ia usaha buka warung.
Malam ini jam sepuluh, warungnya sudah ditutup.
Karena esok hari akan menemui Kyai
yang
oleh kiai Shodiq dianggap salah seorang sufi besar.
Pagi yang ditunggu telah tiba, Pak Lukman membaca
surat al Waqiah dengan tartil di ruang
tamu.
Setelah merampungkan amalannya, ia membuka warungnya hingga jam sepuluh siang
karena
pukul sebelas nanti ia harus berangkat sholat Jumat di Masjid Baitut Taqwa. Berangkatnya
ke masjid tepat pukul 11.00 WIB, ia dengan mengendarai sepeda motornya berangkat
dengan baju putih dan kopyah hitam. Jumat itu yang menjadi Khatib adalah Kyai
Abdus Salam, Kyai pemilik TPQ An Nur. Dalam isi khutbah itu benar-benar
didengar oleh Pak Lukman, karena isi khutbah itu sebagian
menyinggung
adanya wali mastur seperti apa yang telah dijelaskan oleh Kyai Shodiq
tempo hari.
Selesai sholat Jumat, Pak Lukman langsung bergegas
ke tempat yang dia tuju. Sesampai di
sana,
Pak Lukman langsung menemuinya.
“Assalamualaikum, Kiai,”
ucap Pak Lukman yang hatinya masih ragu dengan sosok Wakijo
yang
kata kiai Shodiq seorang kiai.
“Assalamualaikum,
Maaf menganggu. Saya Lukman, Kiai,” ucapan Pak Lukman kembali
diulangi.
Tak ada jawaban sama sekali, hanya tawa menggelegar membelah angin pasar.
“Assalamualaikum Kyai,
saya disuruh menyampaikan salam dari Kyai Shodiq. Dan juga
saya
disuruh minta doa barokah dari Panjenengan,” Ucap pak Lukman.
“Shodiiq...., kenapa kau membocorkan identitasku
yang aku tutupi selama sepuluh tahun.
Aku
tidak ingin identitasku diketahui orang banyak, cukup Allah yang tahu.” Wakijo
mendadak menangis sesenggukan.
Pak Lukman hanya berdiri mematung, melihat adegan
yang belum sepenuhnya ia pahami itu.
Kyai
Sa’dullah alias Wakijo sang penjaga pasar seakan terpukul dengan adanya orang
yang mengetahui identitasnya. Dalam keterpakuannya Pak Lukman sempat berpikir,
jangan-jangan Wakijo sang penjaga pasar memang seperti apa yang dikatakan oleh
kiai Shodiq.
Gresik,
2013
Tentang Penulis : Agus Ibrahim lahir 10 Desember 1990 di
desa Sambungrejo, Rengel, Tuban Jawa Timur. Putra pertama dari pasangan H.
Syuhada’ dan Hj. Siti Romadlonah. Ia menempuh pendidikan dasar di MI Mambaul Islam
Losari Soko Tuban (lulus 2003), MTs Mambaus Sholihin Suci Gresik (lulus 2006),
MAK Mambaus Sholihin (lulus 2009). Setamat MAK, ia masuk Fakultas Syari‘ah
Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah di Institut Keislaman Abdullah Faqih (INKAFA) Suci Manyar Gresik
(Lulus 2013).
Dalam organisasi ia pernah menjadi Sekretaris OSIS MA
Mambaus Sholihin periode 2008-2009, anggota Departemen Bahasa Arab periode
2009- 2010, Sekretaris Pusat OSPMS Pondok Putra Mambaus Sholihin periode
2010-2011. Di bidang Jurnalistik ia pernah menjadi Redaktur dan Lay Outer Majalah
AL-FIKRAH mulai 2007 sampai 2011. Ia juga pendiri dan pimpinan umum Koran
Mambast Pos sejak 2010 hingga sekarang. Ia juga mengajar Fiqih di Madrasah Diniyah Putra
Mambaus Sholihin sejak 2011- sekarang, staf pengajar kursus Bahasa Arab, dan
guru Bidang Studi PPKn di MTs Mambaus Sholihin hingga saat ini. Ia menyukai
dunia tulis menulis sejak kecil, dan buku ‘Lalat dari Jerman’ ini adalah
karya perdananya. Penulis yang sedang menyelesaikan novel ini sekarang masih
tinggal di Pon.Pes. Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik. Kritik dan saran bisa
dikirim di nomor 085731313185.
0 komentar:
Posting Komentar