468x60 Ads

Lalat dari Jerman. Cerpen Keempat dalam Buku Kumpulan Cerpen Lalat dari Jerman








Lalat dari Jerman

Wan, pokoknya kamu harus bisa kuliah sampai S2 dan punya banyak uang. Agar kau bisa membiayai pendidikan adik-adikmu, ucap nenek yang selalu diingat Wawan. Dan saat itu ia hanya mengangguk.
Tahun ini wawan akan segera wisuda dan mendapat gelar sarjana. Ia pun disibukkan dengan tugas Skripsinya. Sejak SMA Wawan telah ditinggal kedua orang tuanya. Mereka ber cerai yang salah satu alasannya adalah masalah ekonomi. Bersama kedua adiknya Wawan hidup dan dibesarkan oleh Kakek Neneknya. Biaya pendidikan S3-nya, alias SD, SMP dan
SMA dia dapat dari menjual kue buatan neneknya. Sebelum berangkat sekolah Wawan akan
berkeliling kampung untuk menjajakan aneka gorengan yang dia bawa.
 “Kak, besok kalau sudah lulus, kakak tetap melanjutkan kuliah atau bekerja?” tanya adiknya suatu ketika.
“Kakak tidak akan berhenti belajar, Dik”
“Mau meneruskan belajar di mana?”
“Ke Jerman!”
***
SETELAH skripsinya rampung, Wawan mulai mencari pekerjaan baru. Ternyata hasil men jual kue dan jajan tidak mencukupi buat biaya wisuda. Ia lalu bekerja di percetakan ‘Karya Pribumi” milik Pak Edi. Dan gaji di tempat itu cukup untuk memenuhi beli kebutuhan sehari-hari. Bahkan ia bisa menabung untuk membayar wisuda. Ada kendala bagi pemuda itu saat bekerja di percetakan. Dia merasa terganggu dengan bau busuk yang menyengat penciuman. Lokasi percetakan itu memang tidak jauh dari tempat pembuangan sampah. Dan setelah memakai masker ia merasa agak lega. Namun kendala lain muncul. Banyak lalat yang menganggu kenyamanan saat bekerja. Selain terganggu dengan hewan itu, ia juga merasa sangat jijik. Pernah ia merasa mual lalu muntah. Sungguh ia membenci lalat.
“Pak, bagaimana agar bau busuk dan lalat-lalat yang masuk ke tempat ini bisa hilang? Terus terang, saya merasa terganggu.” Wawan mengadu kepada pemilik percetakan
“Wah, sudah telat omonganmu itu, Wan! Tempat sampah dan Lalat itu sudah ada sebelum percetakan ini dibangun,” jelas Pak Edi,”sudah berbagai cara dicoba, tapi ya masih seperti ini.”
Wawan yang sungguh membenci lalat terpaksa pindah kerja. Wawan lalu mencoba merintis usaha warnet. Usaha itu semakin lama semakin ramai. Pernah dalam sehari semalam pemasukan bersihya mencapai tujuh ratus ribu rupiah. Warnet itu berada di tempat yang strategis, berdekatan dengan banyak institusi pendidikan. Wawan melengkapi warnetnya dengan Game Online serta menyediakan puluhan folder berisi aneka lagu. Mulai pop, rock, dangdut hingga lagu-lagu campur sari. Lagu koleksi di foldernya cukup lengkap, sejak tahun 90-an sampai sekarang, begitu juga folder berisi Film, program Software dan wallpaper yang cukup banyak jumlahnya. Dan warnet itu buka 24 jam. Saat-saat bahagia menyapa. Hari itu ia
didampingi kakek, nenek dan kedua adiknya. Mereka berfoto di depan Kampus ditemani Rektor.
“Terima Kasih Pak,” ucap Wawan kepada Rektor usai foto.
“Sama-sama, rencana S2 di mana?” Tanya Rektor
“Jerman Pak!” jawabnya tanpa ragu
“Emm, kebetulan. Saya akan membantu lulusan sini yang mau melanjutkan kuliah di  luar negeri. Coba kamu urus beasiswa ke Jerman lewat Pak Doni di kantor administrasi,” kata Rektor.
Betapa senang hati si Wawan, dan beberapa waktu kemudian pemuda itu berangkat ke Jerman. Ia diterima di University of Munich.
***
SETELAH dua tahun lebih di Jerman, Wawan berniat pulang kampung. Ia merasa rindu tanah
kelahiran dan keluarganya. Setelah mengurus paspor dan visa Wawan menyempatkan diri
berkeliling bandara. Pikirannya melayang pada neneknya yang biasa ia panggil ‘Mbah Uti’. Impian untuk meraih gelar master telah ia capai, namun ia masih bingung. Dalam kebingungan itu Wawan masuk ke sebuah kios bertuliskan “Jhons Market of Jerman”.
Aneh, ia seperti mengenal nama itu. Tapi ia ragu di mana.
“What is it, Sir?”
“It is a special Food of Germany.”
“Give me that! Apple and donut’s”
Wawan kembali ke kampung halaman.
***
KELUARGA nenek dan warga kampung bersiap menyambut kedatangan Wawan. Dan setelah ia tiba di rumah, maka tangis kegembiraan pecah. Perasaan rindu pada keluarga dan kampung telah terobati. Namun Wawan merasa seperti ada sesuatu yang kurang. Perasaan itu semakin ia rasa saat dirinya mencium tangan keriput neneknya.
“Apa yang kau bawa dari Jerman ini, Wan?” tanya neneknya.
“Oleh-oleh, Nek,” jawab Wawan.
Neneknya lalu membuka bungkusan. Perasaannya senang sebab cucunya sudah kembali. Tangan keriputnya mengambil buah apel lalu memberikannya pada adik Wawan, Didik.
“Dik, ini apel merah dari Jerman. Cobalah, pasti manis. Ini makanannya orang kaya lho.”
Pikiran wawan kembali sedikit terganggu saat mendengar kata “kaya” dari bibir neneknya.
“Kalau ini makanan apa, Wan?” tanya neneknya lagi
“Kalau ini Donat, Nek. Ini makanan kesukaan Wawan saat di Jerman,”
“Waduh, nenek bangga kalau cucu nenek bisa makan yang mahal-mahal di sana,”
“Nenek mau coba. Bagaimana rasanya makanan orang kaya.”
Hati Wawan kembali tertusuk dengan kata itu.
“Kakek coba satu ya, Wan” kata kakek Wawan yang sedari tadi sibuk berbicara dengan para tetangga.
“Silahkan, Kek”
 “Lho apa ini? Makanan mahal kok ada lalatnya!” ucap kakek yang segera membuat
Wawan terkejut.
“Loh, buang saja Kek! kok bisa ada lalatnya ya?”
Didik mendekati kakeknya lalu menjumput lalat yang telah mati itu. Ia lalu meletakkan bangkai hewan itu di atas telapak tangannya.
“Aneh!” ucap Didik “lihat di perut lalat ini ada cetakan angkanya”
Beberapa orang lalu mendekati Didik. Mereka pun melihat angka dua digit yang tercetak di perut lalat. Apalagi lalat itu ukurannya lumayan besar.
“2-1” Didik membaca tulisan itu. Kejadian itu langsung dibicarakan warga desa.
Dari mulut ke mulut menyebar. Hingga kabar itu diendus para wartawan dan masuk ke dalam
liputan berita. Seiring berlalunya hari, berita tentang lalat aneh itu disiarkan di hampir semua media, koran maupun teve. Wawan sendiri merasa penasaran dengan keanehan di lalat itu. Ia lalu menghubungi salah satu kenalannya di Jerman. Berita tentang lalat lalu menyebar juga di
Jerman. Beberapa hari kemudian teman Wawan menghubungi Wawan. Ia memberitahu Wawan, ada seorang peramal di jerman yang akan membeli lalat itu dengan harga tinggi. Harga yang tergolong murah bagi si Peramal, sebab nyatanya ia mendapat keuntungan yang berlipat dari ramalannya. Dan benar, angka 2-1 itu adalah angka hasil pertandingan Jerman vs Spanyol dengan skor “2-1”. Persis seperti yang dinyatakan si Peramal.
“Ah, ternyata kesuksesanku diperantarai hewan yang selama ini paling kubenci. Alangkah menakjubkan siasat dan rahasia ilahi.” Ucap Wawan yang telah berhasil mewujudkan pesan neneknya.
                                                                                                           Gresik, 2013






Tentang Penulis : Agus Ibrahim lahir 10 Desember 1990 di desa Sambungrejo, Rengel, Tuban Jawa Timur. Putra pertama dari pasangan H. Syuhada’ dan Hj. Siti Romadlonah. Ia menempuh pendidikan dasar di MI Mambaul Islam Losari Soko Tuban (lulus 2003), MTs Mambaus Sholihin Suci Gresik (lulus 2006), MAK Mambaus Sholihin (lulus 2009). Setamat MAK, ia masuk Fakultas Syari‘ah Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah di Institut Keislaman Abdullah Faqih (INKAFA) Suci Manyar Gresik (Lulus 2013).

          Dalam organisasi ia pernah menjadi Sekretaris OSIS MA Mambaus Sholihin periode 2008-2009, anggota Departemen Bahasa Arab periode 2009- 2010, Sekretaris Pusat OSPMS Pondok Putra Mambaus Sholihin periode 2010-2011. Di bidang Jurnalistik ia pernah menjadi Redaktur dan Lay Outer Majalah AL-FIKRAH mulai 2007 sampai 2011. Ia juga pendiri dan pimpinan umum Koran Mambast Pos sejak 2010 hingga sekarang. Ia juga mengajar Fiqih di Madrasah Diniyah Putra Mambaus Sholihin sejak 2011- sekarang, staf pengajar kursus Bahasa Arab, dan guru Bidang Studi PPKn di MTs Mambaus Sholihin hingga saat ini. Ia menyukai dunia tulis menulis sejak kecil, dan buku ‘Lalat dari Jerman’ ini adalah karya perdananya. Penulis yang sedang menyelesaikan novel ini sekarang masih tinggal di Pon.Pes. Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik. Kritik dan saran bisa dikirim di nomor 085731313185.


0 komentar:

Posting Komentar