Lalat dari Jerman
Wan,
pokoknya kamu harus bisa kuliah sampai S2 dan punya banyak uang. Agar kau bisa
membiayai pendidikan adik-adikmu, ucap nenek yang selalu diingat Wawan. Dan
saat itu ia hanya mengangguk.
Tahun
ini wawan akan segera wisuda dan mendapat gelar sarjana. Ia pun disibukkan
dengan tugas Skripsinya. Sejak SMA Wawan telah ditinggal kedua orang tuanya.
Mereka ber cerai yang salah satu alasannya adalah masalah ekonomi. Bersama
kedua adiknya Wawan hidup dan dibesarkan oleh Kakek Neneknya. Biaya pendidikan
S3-nya, alias SD, SMP dan
SMA dia dapat dari menjual
kue buatan neneknya. Sebelum berangkat sekolah Wawan akan
berkeliling kampung untuk
menjajakan aneka gorengan yang dia bawa.
“Kak, besok kalau sudah lulus, kakak tetap melanjutkan
kuliah atau bekerja?” tanya adiknya suatu ketika.
“Kakak
tidak akan berhenti belajar, Dik”
“Mau
meneruskan belajar di mana?”
“Ke
Jerman!”
***
SETELAH
skripsinya rampung, Wawan mulai mencari pekerjaan baru. Ternyata hasil men jual
kue dan jajan tidak mencukupi buat biaya wisuda. Ia lalu bekerja di percetakan
‘Karya Pribumi” milik Pak Edi. Dan gaji di tempat itu cukup untuk memenuhi beli
kebutuhan sehari-hari. Bahkan ia bisa menabung untuk membayar wisuda. Ada
kendala bagi pemuda itu saat bekerja di percetakan. Dia merasa terganggu dengan
bau busuk yang menyengat penciuman. Lokasi percetakan itu memang tidak jauh
dari tempat pembuangan sampah. Dan setelah memakai masker ia merasa agak lega.
Namun kendala lain muncul. Banyak lalat yang menganggu kenyamanan saat bekerja.
Selain terganggu dengan hewan itu, ia juga merasa sangat jijik. Pernah ia
merasa mual lalu muntah. Sungguh ia membenci lalat.
“Pak, bagaimana agar bau busuk dan lalat-lalat yang
masuk ke tempat ini bisa hilang? Terus terang, saya merasa terganggu.” Wawan
mengadu kepada pemilik percetakan
“Wah,
sudah telat omonganmu itu, Wan! Tempat sampah dan Lalat itu sudah ada sebelum percetakan
ini dibangun,” jelas Pak Edi,”sudah berbagai cara dicoba, tapi ya masih seperti
ini.”
Wawan
yang sungguh membenci lalat terpaksa pindah kerja. Wawan lalu mencoba merintis
usaha warnet. Usaha itu semakin lama semakin ramai. Pernah dalam sehari semalam
pemasukan bersihya mencapai tujuh ratus ribu rupiah. Warnet itu berada di
tempat yang strategis, berdekatan dengan banyak institusi pendidikan. Wawan melengkapi
warnetnya dengan Game Online serta menyediakan puluhan folder berisi aneka
lagu. Mulai pop, rock, dangdut hingga lagu-lagu campur sari. Lagu koleksi di
foldernya cukup lengkap, sejak tahun 90-an sampai sekarang, begitu juga folder
berisi Film, program Software dan wallpaper yang cukup banyak jumlahnya. Dan
warnet itu buka 24 jam. Saat-saat bahagia menyapa. Hari itu ia
didampingi kakek, nenek dan
kedua adiknya. Mereka berfoto di depan Kampus ditemani Rektor.
“Terima
Kasih Pak,” ucap Wawan kepada Rektor usai foto.
“Sama-sama,
rencana S2 di mana?” Tanya Rektor
“Jerman
Pak!” jawabnya tanpa ragu
“Emm, kebetulan. Saya akan membantu lulusan sini yang
mau melanjutkan kuliah di luar negeri.
Coba kamu urus beasiswa ke Jerman lewat Pak Doni di kantor administrasi,” kata
Rektor.
Betapa
senang hati si Wawan, dan beberapa waktu kemudian pemuda itu berangkat ke
Jerman. Ia diterima di University of Munich.
***
SETELAH dua tahun lebih di
Jerman, Wawan berniat pulang kampung. Ia merasa rindu tanah
kelahiran dan keluarganya.
Setelah mengurus paspor dan visa Wawan menyempatkan diri
berkeliling bandara.
Pikirannya melayang pada neneknya yang biasa ia panggil ‘Mbah Uti’. Impian untuk
meraih gelar master telah ia capai, namun ia masih bingung. Dalam kebingungan
itu Wawan masuk ke sebuah kios bertuliskan “Jhons Market of Jerman”.
Aneh, ia seperti mengenal
nama itu. Tapi ia ragu di mana.
“What
is it, Sir?”
“It
is a special Food of Germany.”
“Give
me that! Apple and donut’s”
Wawan
kembali ke kampung halaman.
***
KELUARGA nenek dan warga
kampung bersiap menyambut kedatangan Wawan. Dan setelah ia tiba di rumah, maka
tangis kegembiraan pecah. Perasaan rindu pada keluarga dan kampung telah
terobati. Namun Wawan merasa seperti ada sesuatu yang kurang. Perasaan itu semakin
ia rasa saat dirinya mencium tangan keriput neneknya.
“Apa
yang kau bawa dari Jerman ini, Wan?” tanya neneknya.
“Oleh-oleh,
Nek,” jawab Wawan.
Neneknya
lalu membuka bungkusan. Perasaannya senang sebab cucunya sudah kembali. Tangan
keriputnya mengambil buah apel lalu memberikannya pada adik Wawan, Didik.
“Dik, ini apel merah dari
Jerman. Cobalah, pasti manis. Ini makanannya orang kaya lho.”
Pikiran wawan kembali sedikit
terganggu saat mendengar kata “kaya” dari bibir neneknya.
“Kalau
ini makanan apa, Wan?” tanya neneknya lagi
“Kalau
ini Donat, Nek. Ini makanan kesukaan Wawan saat di Jerman,”
“Waduh,
nenek bangga kalau cucu nenek bisa makan yang mahal-mahal di sana,”
“Nenek
mau coba. Bagaimana rasanya makanan orang kaya.”
Hati Wawan kembali tertusuk
dengan kata itu.
“Kakek
coba satu ya, Wan” kata kakek Wawan yang sedari tadi sibuk berbicara dengan
para tetangga.
“Silahkan,
Kek”
“Lho apa ini? Makanan mahal kok ada lalatnya!”
ucap kakek yang segera membuat
Wawan terkejut.
“Loh,
buang saja Kek! kok bisa ada lalatnya ya?”
Didik mendekati kakeknya lalu
menjumput lalat yang telah mati itu. Ia lalu meletakkan bangkai hewan itu di
atas telapak tangannya.
“Aneh!”
ucap Didik “lihat di perut lalat ini ada cetakan angkanya”
Beberapa orang lalu mendekati
Didik. Mereka pun melihat angka dua digit yang tercetak di perut lalat. Apalagi
lalat itu ukurannya lumayan besar.
“2-1”
Didik membaca tulisan itu. Kejadian itu langsung dibicarakan warga desa.
Dari mulut ke mulut menyebar.
Hingga kabar itu diendus para wartawan dan masuk ke dalam
liputan berita. Seiring
berlalunya hari, berita tentang lalat aneh itu disiarkan di hampir semua media,
koran maupun teve. Wawan sendiri merasa penasaran dengan keanehan di lalat itu.
Ia lalu menghubungi salah satu kenalannya di Jerman. Berita tentang lalat lalu
menyebar juga di
Jerman. Beberapa hari
kemudian teman Wawan menghubungi Wawan. Ia memberitahu Wawan, ada seorang
peramal di jerman yang akan membeli lalat itu dengan harga tinggi. Harga yang tergolong
murah bagi si Peramal, sebab nyatanya ia mendapat keuntungan yang berlipat dari
ramalannya. Dan benar, angka 2-1 itu adalah angka hasil pertandingan Jerman vs
Spanyol dengan skor “2-1”. Persis seperti yang dinyatakan si Peramal.
“Ah,
ternyata kesuksesanku diperantarai hewan yang selama ini paling kubenci.
Alangkah menakjubkan siasat dan rahasia ilahi.” Ucap Wawan yang telah berhasil
mewujudkan pesan neneknya.
Gresik, 2013
Tentang Penulis : Agus Ibrahim lahir 10 Desember 1990 di
desa Sambungrejo, Rengel, Tuban Jawa Timur. Putra pertama dari pasangan H.
Syuhada’ dan Hj. Siti Romadlonah. Ia menempuh pendidikan dasar di MI Mambaul Islam
Losari Soko Tuban (lulus 2003), MTs Mambaus Sholihin Suci Gresik (lulus 2006),
MAK Mambaus Sholihin (lulus 2009). Setamat MAK, ia masuk Fakultas Syari‘ah
Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah di Institut Keislaman Abdullah Faqih (INKAFA) Suci Manyar Gresik
(Lulus 2013).
Dalam organisasi ia pernah menjadi Sekretaris OSIS MA
Mambaus Sholihin periode 2008-2009, anggota Departemen Bahasa Arab periode
2009- 2010, Sekretaris Pusat OSPMS Pondok Putra Mambaus Sholihin periode
2010-2011. Di bidang Jurnalistik ia pernah menjadi Redaktur dan Lay Outer Majalah
AL-FIKRAH mulai 2007 sampai 2011. Ia juga pendiri dan pimpinan umum Koran
Mambast Pos sejak 2010 hingga sekarang. Ia juga mengajar Fiqih di Madrasah Diniyah Putra
Mambaus Sholihin sejak 2011- sekarang, staf pengajar kursus Bahasa Arab, dan
guru Bidang Studi PPKn di MTs Mambaus Sholihin hingga saat ini. Ia menyukai
dunia tulis menulis sejak kecil, dan buku ‘Lalat dari Jerman’ ini adalah
karya perdananya. Penulis yang sedang menyelesaikan novel ini sekarang masih
tinggal di Pon.Pes. Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik. Kritik dan saran bisa
dikirim di nomor 085731313185.
0 komentar:
Posting Komentar