468x60 Ads

Soejono dan Kiai Londo. Cerpen Ketiga dalam Buku Kumpulan Cerpen Lalat dari Jerman








Soejono dan Kiai Londo

Bambu runcing membelah perut penjajah. Darah pun mengucur, deras dan panas. kepalanya terluka dan menganga. Percikan pekat keluar dari gumpalan otak kotor sang Kolonial. Ia penjajah yang menjarah bumi peritiwi negeri ini, tapi 30 menit yang akan datang sang penjajah bersimbah darah, isi perutnya keluar seperti saat ia mengeluarkan isi batang-batang emas dari bumi Indonesia.
“Dor..!!! dor..!!! dor..!!!” suara senapan
mengguncang nusantara, bambu runcing terbang
melejit-lejit di tangan para pejuang.
“Allahu Akbar......”
“Allahu Akbar..,”
“Allahu Akbar.....,”
Merdeka...merdeka...merdeka....!!!!,” Pekik Soejono.
Nafasnya ngos-ngosan, matanya tertimpa angin, keringatnya mengkristal, mulutnya menguap dan “Aughhh......” Soejono menguap dengan lega, baru saja ia tamat setelah 350 detik menemani pejuang mengusir penjajah dari layar TV nya.

Soejono ternyata bukan kawanan pejuang yang mengusir para penjajah seperti Soekarno. Lebih dari itu, ia adalah pejuang di tengah masyarakat yang mengusir kebodohan. Itulah harapan orang tuanya. Soejono satu dari sekian santri yang tinggal di pondok “Bambu Runcing”, pesantren tua milik Mbah Londo, Muallaf ringkih yang diislamkan Kyai desa, dan kini ia yang meneruskan perjuangan menghidup-hidupkan islam di pelosok desa Joyoboyo.

Sekitar tahun 1947 Soejono ada lahir dari rahim ibunya, Lokeni. Seorang ibu yang berdarah Belanda-Jawa. Parasnya yang genit membuat anaknya, Soejono mewarisi tingkah polah ibunya. Bapaknya sudah jadi dongeng, tak bisa diceritakan lagi. Hanya kakeknya yang tetap hidup, hidup di tengah-tengah jiwa Soejono. Soejono tidak begitu pandai. Otaknya tidak bisa berkobar saat menerima pelajaran umum. Oleh karenanya, sang ibu sengaja memasukkannya di pesantren. Tubuhnya kaku tatkala berhadapan dengan gadis, malah nafasnya bisa tertahan  bermenit-menit di ujung hidungnya. Ia tidak pernah berpikir kalau dirinya bisa jadi pahlawan di kamarnya. Pahlawan olok-olokan yang hidup di tengah kesunyian tatkala tiba. Sungguh iba.

Malam cerah dan indah. Angin menyisir rumpun bambu di belakang Pesantren Bambu Runcing. Mendadak kyai ringkih itu memutar tasbihnya, sangat kencang. Soejono yang tidur di depan Aula terbangun dan menuju ke belakang pondok. Ia berdiri mematung dan mengintip di balik pintu kayu jati yang rapuh, “Ada apa datang kesini?” tanya Kyai Londo mengejutkan. Soejono
deg-degan, hatinya tak karuan, ia mengintip ternyata ketahuan kyainya.
“Tidak ada apa-apa kyai, cuma saya terbangun akibat kedinginan dan sayapun mencari sumber
angin yang kencang, dan ternyata sumber angin itu di sini,” terang Soejono dengan kaki  gemeteran.
“Sttttt.....diam! jangan kau ceritakan kejadian malam ini! Ucap Kyai Londo lalu berjalan menuju
Barongan dan kemudian tak tampak mata, mata Soejono yang kalup. Ia benar-benar seperti tidak sadar, seperti hanya mimpi. Ia menampar-nampar pipi kanankirinya dan mencubit perut buncitnya, “Aduh,” suara kesakitan keluar, ia benar-benar di alam sadar, bukan mimpi. Ia lalu lari dan kembali tidur di Aula.
***
Pengajian pagi yang diisi Kiai Londo berjalan seperti biasa. Kiai yang sebelumnya adalah orang
Belanda bernama Lewis. Dia telah memeluk Islam sejak tujuh belas tahun lalu. Bermula saat dirinya membumi-hanguskan desa Joyoboyo. Rumah dibakar, dan para penduduknya banyak yang dianiaya. Namun setelah ia tiba di surau Kiai Kholil, tubuhnya lemah, hatinya luluh dan
senjatanya terjatuh. Ia lalu dibimbing Kiai Kholil mengucapkan dua kalimat Syahadah, meskipun
bibirnya masih kaku. Semua itu bermula saat si Belanda itu mendengar bacaan bait-bait Al Fiyah Ibnu Malik yang didendangkan kiai Kholil. Suara Kiai Londo mengalun. Keterangannya
gamblang diselingi humor segar. Semua pendengarnya tidak merasa lelah ataupun mengantuk.
“Santri-santri, besok siapa yang datang paling awal di masjid akan dapat hadiah!” ucap  kiai setelah mengakhiri pengajian saat Subuh. Ia lalu berdiri dan diikuti para santri. Mereka memberi jalan dengan berbaris. Kyai berjalan di tengah para santri. Langkahnya berwibawa. Seisi mushola gemuruh ramai saat sosok Kyai Londo sudah ada di ndalemnya. Mulyono, Mujiono, Samirun, Bambang dan Fauzi saling adu mulut, mereka saling berkelakar sebagai orang yang datang lebih awal di masjid sebelum para warga datang untuk menunaikan sholat Jum’at.
“Pasti aku duluan,” seloroh Samirun tanpa ragu, seakan-akan dialah orang yang datang lebih awal.
“Nggak mungkin!” ketus Mujiono.
“Pasti aku yang lebih awal,” Bambang tak mau kalah.
“Usul, gimana kalau kita semua kompak berangkat lebih awal, biar kita semua mendapat hadiah dari Kyai plus dapat pahala besar kelak di Akhirat” Usul Fauzi yang dari tadi hanya mendengarkan omongan teman-temannya.
“Biar Soejono saja yang berangkat terlambat, sudah tidak dapat apa-apa dari kyai, paling hanya
dapat hal-hal kecil.” imbuh Fauzi.

Teman-teman Soejono sedang berunding tentang hadiah. Sedang Soejono sendiri pergi meninggalkan teman-temannya. Ia seorang diri menuju Barongan tempat yang ia pernah
menyaksikan Kyainya memutar tasbih. Ia mengamati pohon bambu yang rimbun itu, duri-duri pamer ketajamannya depan mata Soejono. Tiba-tiba ia memberanikan diri mendekati bambu. Semakin mendekat dan ia menyentuh sebongkah peti kecil yang dikelilingi ukiran gambar daun-daun bunga mayang di punggung peti yang berat.
 “Wah, apa ini?” ucap Soejono, tubuhnya  kembali menggigil, tangannya, kakinya dan seluruh anggota badannya gemeteran tatkala memegang sebuah buku usang, kertasnya lusuh, seperti kitab kuno peninggalan Pendekar.
Ia bangga, pikirannya ada di langit, hatinya bungah. Seojono berniat akan mengamalkan isi
buku kecil yang usang itu, ia yakin kalau isi kitab kecil itu yang membuat Kyai Londo bisa
mendatangkan angin dan dapat pula menghilang seperti yang ia lihat kemarin malam. Ia agak gugup saat mau menyembunyikan peti, ia menyelinap dan langsung berlari menuju kamar.
Hatinya berdebar. Pikirannya terbayang rasa takut yang setiap saat bisa saja datang. Ia sangat
kuatir kalau Kyainya tahu dan mencari isi dalam peti yang ia bawa ini.
“He, apa yang kau bawa!” dia benar-benar gugup, mulutnya yang rapat kini menjadikan bicaranya gagap.
 “Ini kotak peti perhiasan.” Jawabnya dusta. Baru kemudian Soejono lega, karena Ia salah orang, ucapan yang dikira suara kyainya, tak tahunya malah teman sekamarnya sendiri; Mujiono.
***
Semua santri Ro’an; kerja bakti membersihkan pondok. Aneh, malah Soejono asyik naik pohon beringin. Pohon angker yang selama ini ditakuti oleh santri junior dan senior. Letak pohon itu jauh dari pondok, sekitar 100 m, di pohon itu ada niat  yang disembunyikan. Dan benar, di atas pohon tua itu ia membuka isi peti dan mengambil dengan hati-hati, tiupannya pada sampul kitab membuat debu berterbangan membuat mata Soejono semakin sipit, menciut. Ia pegang dan dibukanya hati-hati, hatinyapun hati-hati. Lembar pertama sudah terbaca oleh matanya, ia mulai menghafal mantra sakti itu, pelan dan fasih. Satu bait telah lewat, telah ia lewati dan ia hafal. Ia melanjutkan bait selanjutnya dan seterusnya, lalu ia memejamkan mata dan enyimpan hafalan itu di memori otaknya. Ia hafal 15 bait mantra pagi itu. Lalu ia kembali dan istirahat di kamar.

Pagi berikutnya ia kembali ke pohon angker itu, tak ada seorangpun yang tahu kapan dia ke sana. Sesampai di tempat, ia memanjat dan duduk di batang pohon yang nyaman, ia kembali melafalkan bait-bait mantra itu, sangat fasih. Seperti hari sebelumnya. Hari-hari selanjutnya terus berjalan, ia jalani dengan rutin datang dan memanjat pohon itu sampai tiba di hari yang ke-67, tepatnya 2 bulan 1 minggu, hari keramat bagi Soejono untuk cepat bisa hafal. Dan benar, ia sudah menyimpan hafalannya sesuai jumlah bait mantra sakti pas di hari ke enam puluh tujuh. Ia lega, batinnya riang bukan kepalang. Ia mau mencoba hasil usahanya. Dia sudah mantab untuk mencobanya saat tengah malam nanti. Ia lalu kembali ke kamarnya untuk beristirahat. Di tengah larut malam ia memegangi sebuah tasbih. Benda pemberian ibunya saat ia berangkat ke pondok. Ia mulai melafalkan mantra-mantra sakral itu dan suara sandal tiba-tiba menghampirinya. Ia kaget dan terperanjat. Pagi hari ia harus berdiri di tengah lapangan. Menjalani hukuman atas tindakannya yang melanggar larangan, tidak tidur malam. Dahinya berkerut dan rasa marahnya mulai menyala.
“Sial !” umpatnya.
***
NIATNYA masih kuat, sekuat pohon beringin yang tak goyah meski diterpa angin kencang. Ia masih belum jera dan tetap ingin mencoba mengulangi niatnya. Mampu mendatangkan angin dan juga bisa menghilang. Malam menggiring mendung, kelalawar mulai
berterbangan kesana kemari, santri-santri mulai membaringkan raga dan tidur. Tapi ada sosok
hitam melompat-lompat,cepat, melejit. Ia adalah Soejono yang terbungkus sarung, ia melompat-lompat melewati raga-raga dan kaki santri yang berbaris di lantai, berbaring tidur. Jam lonceng telah berbunyi, dibunyikan keamanan pondok. ‘Waktu tidur wajib tidur’, slogan pengurus keamanan untuk menyuruh santri tidur yang sedang keluyuran malam.
Satu bait mantra ia lafalkan di dekat Ndalem. Sengaja ia memilih tempat itu, depan rumah
pengasuh pondok. Karena itulah satu-satunya tempat yang tak mungkin dilewati keamanan saat keliling area pondok dengan membawa lampu senter. Ia dapat membaca mantra itu dengan lancar. Dan tak lama kemudian angin pun datang.
Hembusannya kencang. Ia terkejut sampai badannya gemetar. Namun ia terus saja melafalkan mantra agar tubuhnya bisa menghilang. Dan ternyata terwujud juga. Malam
itu ia benar-benar mampu menghilang dalam gelap malam. Malam yang disertai hujan lebat
serta angin kencang membuat lampu depan ndalem mati tiba-tiba, mati total. Seluruh santri
pondok bisa menghilang dalam kegelapan malam tanpa penerangan cahaya lampu gelap gulita.
***
Semua santri Pondok Bambu Runcing terus menunggu sosok santri yang akan beruntung. Bisa
mendapat hadiah dari Kyai Londo. Tapi lama kelamaan mereka mulai jenuh. Terlalu lama Kiai
Londo tidak mengumumkan nama santri yang mendapat hadiah. Dari Jum’at ke Jum’at para
santri terus menunggu, tetapi pengumuman tak kunjung keluar. Dan Soejono -yang tak pernah
mengharapkan hadiah- tetap datang paling awal. Meski banyak temannya yang berusaha
menghalangi niat itu.
Di suatu Jum‘at pagi, sehabis menerangkan isi kitab kiai Londo mendadak berkata.
“Untuk bisa mendapatkan hadiah yang saya janjikan, masih ada satu syarat lagi; Siapa di antara kalian yang hafal bait-bait Al Fiyah Ibnu Malik?”
Tak ada satupun santri yang mengangkat tangan.
“Saya sudah kangen dengan alunan bait-bait itu. Mendengarnya membuat hati ini bergetar. Seperti pertama kali saya mendengarnya dari Kyai Kholil. Dan bagi yang hafal akan saya ambil jadi menantu saya.” Kiai Londo mencoba memancing hafalan santrinya, dengan melafalkan bait pembuka dari kitab ilmu Nahwu itu, “Qola Muhammadun huwabnu Maliki....,”. Terlihat bibir salah satu santri bergerak-gerak menirukan apa yang dihafalkan kyai. Dan Kiai Londo melihatnya.
“Coba itu, ulangi lagi bait nadlom yang kamu lafalkan tadi!” perintah kyai, sambil menunjuk ke arah Soejono yang duduk di belakang.
 “Qola Muhammadun Huwabnu Maliki, Ahmadu
robbillahi khoirol Maliki.”
“Lanjutkan!” perintah sang Kiai.
Sebanyak seribu dua Nadlom diucapkan Soejono dengan lancar. Dan sesuai janji Kyai maka
Soejono diangkat menjadi menantu. Nama Jawa yang berbau nama pahlawan 45 itu ; SOEJONO” diganti dengan nama baru, nama pemberian Kyai Londo, MALIK. Potongan nama pengarang seribu dua bait kitab alfiyah yang oleh Soejono dianggap mantra sakti. Dan kini ia benar-benar jadi menantu Kyai. Santri-santri memanggil dengan gelar ‘Gus Malik’. Gus yang selalu tepat waktu datang ke masjid setiap hari Jum’at. Gus Malik telah menerima pemberian hadiah istimewa yang diucapkan kyainya, hadiah istimewa itu berupa istri cantik yang hafal Al Qur’an serta kitab alfiyyah ibnu malik, Neng Ziyah. Waktu terus berjalan, hubungan rumah tangga Gus Malik dan Ning Ziyah dikarunia putra lakilaki; Jakfar. Namun satu bulan kemudian Kiai itu pergi menghadap Yang Maha Kuasa. Duka mendalam dirasakan seluruh santri dan warga desa Joyoboyo. Sesuai wasiatnya, Pondok Bambu Runcing diasuh oleh Gus yang konon mampu mendatangkan angin. Juga bisa menghilang ke dalam kegelapan malam berkat mantra sakti, bait-bait Al Fiyah Ibnu Malik Al Andalusi.
                                                                  ***
“Paham!!! Semoga apa yang kalian dengar dalam dongeng ini bisa membakar semangat untuk menghafal nadlam al fiyyah yang akan kalian hadapi esok,” suara Kiai Abdus Salam menutup
dongengnya. Dongeng yang ia maksudkan sebagai suntikan motivasi bagi para santri yang
pagi itu sedang mengikuti pembukaan pembelajaran alfiyyah Ibnu Malik di Aula pesantren.
“Wassalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh” Kiai Abdus Salam mengakhiri dongeng yang ia sampaikan di hadapan santri kelas satu aliyah Pondok Pesantren Mambaus Sholihin.
                                                                                                      Gresik, 2013





Tentang Penulis : Agus Ibrahim lahir 10 Desember 1990 di desa Sambungrejo, Rengel, Tuban Jawa Timur. Putra pertama dari pasangan H. Syuhada’ dan Hj. Siti Romadlonah. Ia menempuh pendidikan dasar di MI Mambaul Islam Losari Soko Tuban (lulus 2003), MTs Mambaus Sholihin Suci Gresik (lulus 2006), MAK Mambaus Sholihin (lulus 2009). Setamat MAK, ia masuk Fakultas Syari‘ah Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah di Institut Keislaman Abdullah Faqih (INKAFA) Suci Manyar Gresik (Lulus 2013).

          Dalam organisasi ia pernah menjadi Sekretaris OSIS MA Mambaus Sholihin periode 2008-2009, anggota Departemen Bahasa Arab periode 2009- 2010, Sekretaris Pusat OSPMS Pondok Putra Mambaus Sholihin periode 2010-2011. Di bidang Jurnalistik ia pernah menjadi Redaktur dan Lay Outer Majalah AL-FIKRAH mulai 2007 sampai 2011. Ia juga pendiri dan pimpinan umum Koran Mambast Pos sejak 2010 hingga sekarang. Ia juga mengajar Fiqih di Madrasah Diniyah Putra Mambaus Sholihin sejak 2011- sekarang, staf pengajar kursus Bahasa Arab, dan guru Bidang Studi PPKn di MTs Mambaus Sholihin hingga saat ini. Ia menyukai dunia tulis menulis sejak kecil, dan buku ‘Lalat dari Jerman’ ini adalah karya perdananya. Penulis yang sedang menyelesaikan novel ini sekarang masih tinggal di Pon.Pes. Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik. Kritik dan saran bisa dikirim di nomor 085731313185.


0 komentar:

Posting Komentar