Soejono dan Kiai Londo
Bambu
runcing membelah perut penjajah. Darah pun mengucur, deras dan panas. kepalanya
terluka dan menganga. Percikan pekat keluar dari gumpalan otak kotor sang Kolonial.
Ia penjajah yang menjarah bumi peritiwi negeri ini, tapi 30 menit yang akan
datang sang penjajah bersimbah darah, isi perutnya keluar seperti saat ia
mengeluarkan isi batang-batang emas dari bumi Indonesia.
“Dor..!!!
dor..!!! dor..!!!” suara senapan
mengguncang nusantara, bambu
runcing terbang
melejit-lejit di tangan para
pejuang.
“Allahu
Akbar......”
“Allahu
Akbar..,”
“Allahu
Akbar.....,”
Merdeka...merdeka...merdeka....!!!!,”
Pekik Soejono.
Nafasnya
ngos-ngosan, matanya tertimpa angin, keringatnya mengkristal, mulutnya menguap
dan “Aughhh......” Soejono menguap dengan lega, baru saja ia tamat setelah 350
detik menemani pejuang mengusir penjajah dari layar TV nya.
Soejono
ternyata bukan kawanan pejuang yang mengusir para penjajah seperti Soekarno. Lebih
dari itu, ia adalah pejuang di tengah masyarakat yang mengusir kebodohan.
Itulah harapan orang tuanya. Soejono satu dari sekian santri yang tinggal di
pondok “Bambu Runcing”, pesantren tua milik Mbah Londo, Muallaf ringkih yang
diislamkan Kyai desa, dan kini ia yang meneruskan perjuangan menghidup-hidupkan
islam di pelosok desa Joyoboyo.
Sekitar
tahun 1947 Soejono ada lahir dari rahim ibunya, Lokeni. Seorang ibu yang
berdarah Belanda-Jawa. Parasnya yang genit membuat anaknya, Soejono mewarisi
tingkah polah ibunya. Bapaknya sudah jadi dongeng, tak bisa diceritakan lagi.
Hanya kakeknya yang tetap hidup, hidup di tengah-tengah jiwa Soejono. Soejono
tidak begitu pandai. Otaknya tidak bisa berkobar saat menerima pelajaran umum. Oleh
karenanya, sang ibu sengaja memasukkannya di pesantren. Tubuhnya kaku tatkala
berhadapan dengan gadis, malah nafasnya bisa tertahan bermenit-menit di ujung hidungnya. Ia tidak
pernah berpikir kalau dirinya bisa jadi pahlawan di kamarnya. Pahlawan olok-olokan
yang hidup di tengah kesunyian tatkala tiba. Sungguh iba.
Malam
cerah dan indah. Angin menyisir rumpun bambu di belakang Pesantren Bambu Runcing.
Mendadak kyai ringkih itu memutar tasbihnya, sangat kencang. Soejono yang tidur
di depan Aula terbangun dan menuju ke belakang pondok. Ia berdiri mematung dan
mengintip di balik pintu kayu jati yang rapuh, “Ada apa datang kesini?” tanya Kyai
Londo mengejutkan. Soejono
deg-degan, hatinya tak
karuan, ia mengintip ternyata ketahuan kyainya.
“Tidak
ada apa-apa kyai, cuma saya terbangun akibat kedinginan dan sayapun mencari
sumber
angin yang kencang, dan
ternyata sumber angin itu di sini,” terang Soejono dengan kaki gemeteran.
“Sttttt.....diam!
jangan kau ceritakan kejadian malam ini! Ucap Kyai Londo lalu berjalan
menuju
Barongan dan kemudian tak tampak mata,
mata Soejono yang kalup. Ia benar-benar seperti tidak sadar, seperti hanya
mimpi. Ia menampar-nampar pipi kanankirinya dan mencubit perut buncitnya,
“Aduh,” suara kesakitan keluar, ia benar-benar di alam sadar, bukan mimpi. Ia
lalu lari dan kembali tidur di Aula.
***
Pengajian pagi yang diisi
Kiai Londo berjalan seperti biasa. Kiai yang sebelumnya adalah orang
Belanda bernama Lewis.
Dia telah memeluk Islam sejak tujuh belas tahun lalu. Bermula saat dirinya membumi-hanguskan
desa Joyoboyo. Rumah dibakar, dan para penduduknya banyak yang dianiaya. Namun
setelah ia tiba di surau Kiai Kholil, tubuhnya lemah, hatinya luluh dan
senjatanya terjatuh. Ia lalu
dibimbing Kiai Kholil mengucapkan dua kalimat Syahadah, meskipun
bibirnya masih kaku. Semua
itu bermula saat si Belanda itu mendengar bacaan bait-bait Al Fiyah Ibnu Malik
yang didendangkan kiai Kholil. Suara Kiai Londo mengalun. Keterangannya
gamblang diselingi humor
segar. Semua pendengarnya tidak merasa lelah ataupun mengantuk.
“Santri-santri,
besok siapa yang datang paling awal di masjid akan dapat hadiah!” ucap kiai setelah mengakhiri pengajian saat Subuh. Ia
lalu berdiri dan diikuti para santri. Mereka memberi jalan dengan berbaris.
Kyai berjalan di tengah para santri. Langkahnya berwibawa. Seisi mushola
gemuruh ramai saat sosok Kyai Londo sudah ada di ndalemnya. Mulyono, Mujiono,
Samirun, Bambang dan Fauzi saling adu mulut, mereka saling berkelakar sebagai
orang yang datang lebih awal di masjid sebelum para warga datang untuk
menunaikan sholat Jum’at.
“Pasti
aku duluan,” seloroh Samirun tanpa ragu, seakan-akan dialah orang yang datang
lebih awal.
“Nggak
mungkin!” ketus Mujiono.
“Pasti
aku yang lebih awal,” Bambang tak mau kalah.
“Usul,
gimana kalau kita semua kompak berangkat lebih awal, biar kita semua mendapat hadiah
dari Kyai plus dapat pahala besar kelak di Akhirat” Usul Fauzi yang dari tadi
hanya mendengarkan omongan teman-temannya.
“Biar
Soejono saja yang berangkat terlambat, sudah tidak dapat apa-apa dari kyai,
paling hanya
dapat hal-hal kecil.” imbuh
Fauzi.
Teman-teman
Soejono sedang berunding tentang hadiah. Sedang Soejono sendiri pergi meninggalkan
teman-temannya. Ia seorang diri menuju Barongan tempat yang ia pernah
menyaksikan Kyainya memutar
tasbih. Ia mengamati pohon bambu yang rimbun itu, duri-duri pamer ketajamannya
depan mata Soejono. Tiba-tiba ia memberanikan diri mendekati bambu. Semakin
mendekat dan ia menyentuh sebongkah peti kecil yang dikelilingi ukiran gambar
daun-daun bunga mayang di punggung peti yang berat.
“Wah, apa ini?” ucap Soejono, tubuhnya kembali menggigil, tangannya, kakinya dan
seluruh anggota badannya gemeteran tatkala memegang sebuah buku usang,
kertasnya lusuh, seperti kitab kuno peninggalan Pendekar.
Ia bangga, pikirannya ada di
langit, hatinya bungah. Seojono berniat akan mengamalkan isi
buku kecil yang usang itu, ia
yakin kalau isi kitab kecil itu yang membuat Kyai Londo bisa
mendatangkan angin dan dapat
pula menghilang seperti yang ia lihat kemarin malam. Ia agak gugup saat mau
menyembunyikan peti, ia menyelinap dan langsung berlari menuju kamar.
Hatinya berdebar. Pikirannya
terbayang rasa takut yang setiap saat bisa saja datang. Ia sangat
kuatir kalau Kyainya tahu dan
mencari isi dalam peti yang ia bawa ini.
“He,
apa yang kau bawa!” dia benar-benar gugup, mulutnya yang rapat kini menjadikan
bicaranya gagap.
“Ini kotak peti perhiasan.” Jawabnya dusta.
Baru kemudian Soejono lega, karena Ia salah orang, ucapan yang dikira suara
kyainya, tak tahunya malah teman sekamarnya sendiri; Mujiono.
***
Semua
santri Ro’an; kerja bakti membersihkan pondok. Aneh, malah Soejono asyik
naik pohon beringin. Pohon angker yang selama ini ditakuti oleh santri junior
dan senior. Letak pohon itu jauh dari pondok, sekitar 100 m, di pohon itu ada
niat yang disembunyikan. Dan benar, di
atas pohon tua itu ia membuka isi peti dan mengambil dengan hati-hati,
tiupannya pada sampul kitab membuat debu berterbangan membuat mata Soejono semakin
sipit, menciut. Ia pegang dan dibukanya hati-hati, hatinyapun hati-hati. Lembar
pertama sudah terbaca oleh matanya, ia mulai menghafal mantra sakti itu, pelan
dan fasih. Satu bait telah lewat, telah ia lewati dan ia hafal. Ia melanjutkan bait
selanjutnya dan seterusnya, lalu ia memejamkan mata dan enyimpan hafalan itu di
memori otaknya. Ia hafal 15 bait mantra pagi itu. Lalu ia kembali dan istirahat
di kamar.
Pagi
berikutnya ia kembali ke pohon angker itu, tak ada seorangpun yang tahu kapan
dia ke sana. Sesampai di tempat, ia memanjat dan duduk di batang pohon yang
nyaman, ia kembali melafalkan bait-bait mantra itu, sangat fasih. Seperti hari
sebelumnya. Hari-hari selanjutnya terus berjalan, ia jalani dengan rutin datang
dan memanjat pohon itu sampai tiba di hari yang ke-67, tepatnya 2 bulan 1 minggu,
hari keramat bagi Soejono untuk cepat bisa hafal. Dan benar, ia sudah menyimpan
hafalannya sesuai jumlah bait mantra sakti pas di hari ke enam puluh tujuh. Ia
lega, batinnya riang bukan kepalang. Ia mau mencoba hasil usahanya. Dia sudah
mantab untuk mencobanya saat tengah malam nanti. Ia lalu kembali ke kamarnya
untuk beristirahat.
Di tengah larut malam ia memegangi sebuah tasbih. Benda pemberian ibunya saat
ia berangkat ke pondok. Ia mulai melafalkan mantra-mantra sakral itu dan suara
sandal tiba-tiba menghampirinya. Ia kaget dan terperanjat. Pagi hari ia harus
berdiri di tengah lapangan. Menjalani hukuman atas tindakannya yang melanggar larangan,
tidak tidur malam. Dahinya berkerut dan rasa marahnya mulai menyala.
“Sial
!” umpatnya.
***
NIATNYA
masih kuat, sekuat pohon beringin yang tak goyah meski diterpa angin kencang.
Ia masih belum jera dan tetap ingin mencoba mengulangi niatnya. Mampu
mendatangkan angin dan juga bisa menghilang. Malam menggiring mendung,
kelalawar mulai
berterbangan kesana kemari,
santri-santri mulai membaringkan raga dan tidur. Tapi ada sosok
hitam melompat-lompat,cepat,
melejit. Ia adalah Soejono yang terbungkus sarung, ia melompat-lompat melewati
raga-raga dan kaki santri yang berbaris di lantai, berbaring tidur. Jam lonceng
telah berbunyi, dibunyikan keamanan pondok. ‘Waktu tidur wajib tidur’, slogan
pengurus keamanan untuk menyuruh santri tidur yang sedang keluyuran malam.
Satu bait mantra ia lafalkan
di dekat Ndalem. Sengaja ia memilih tempat itu, depan rumah
pengasuh pondok. Karena
itulah satu-satunya tempat yang tak mungkin dilewati keamanan saat keliling
area pondok dengan membawa lampu senter. Ia dapat membaca mantra itu dengan lancar.
Dan tak lama kemudian angin pun datang.
Hembusannya
kencang. Ia terkejut sampai badannya gemetar. Namun ia terus saja melafalkan
mantra agar tubuhnya bisa menghilang. Dan ternyata terwujud juga. Malam
itu ia benar-benar mampu
menghilang dalam gelap malam. Malam yang disertai hujan lebat
serta angin kencang membuat
lampu depan ndalem mati tiba-tiba, mati total. Seluruh santri
pondok bisa menghilang dalam
kegelapan malam tanpa penerangan cahaya lampu gelap gulita.
***
Semua
santri Pondok Bambu Runcing terus menunggu sosok santri yang akan beruntung.
Bisa
mendapat hadiah dari Kyai
Londo. Tapi lama kelamaan mereka mulai jenuh. Terlalu lama Kiai
Londo tidak mengumumkan nama
santri yang mendapat hadiah. Dari Jum’at ke Jum’at para
santri terus menunggu, tetapi
pengumuman tak kunjung keluar. Dan Soejono -yang tak pernah
mengharapkan hadiah- tetap
datang paling awal. Meski banyak temannya yang berusaha
menghalangi niat itu.
Di
suatu Jum‘at pagi, sehabis menerangkan isi kitab kiai Londo mendadak berkata.
“Untuk
bisa mendapatkan hadiah yang saya janjikan, masih ada satu syarat lagi; Siapa
di antara kalian yang hafal bait-bait Al Fiyah Ibnu Malik?”
Tak ada satupun santri yang
mengangkat tangan.
“Saya
sudah kangen dengan alunan bait-bait itu. Mendengarnya membuat hati ini
bergetar. Seperti pertama kali saya mendengarnya dari Kyai Kholil. Dan bagi
yang hafal akan saya ambil jadi menantu saya.” Kiai Londo mencoba memancing
hafalan santrinya, dengan melafalkan bait pembuka dari kitab ilmu Nahwu itu, “Qola
Muhammadun huwabnu Maliki....,”. Terlihat bibir salah satu santri bergerak-gerak
menirukan apa yang dihafalkan kyai. Dan Kiai Londo melihatnya.
“Coba
itu, ulangi lagi bait nadlom yang kamu lafalkan tadi!” perintah kyai, sambil
menunjuk ke arah Soejono yang duduk di belakang.
“Qola Muhammadun Huwabnu Maliki, Ahmadu
robbillahi khoirol Maliki.”
“Lanjutkan!”
perintah sang Kiai.
Sebanyak seribu dua Nadlom
diucapkan Soejono dengan lancar. Dan sesuai janji Kyai maka
Soejono diangkat menjadi
menantu. Nama Jawa yang berbau nama pahlawan 45 itu ; SOEJONO” diganti dengan
nama baru, nama pemberian Kyai Londo, MALIK. Potongan nama pengarang
seribu dua bait kitab alfiyah yang oleh Soejono dianggap mantra sakti.
Dan kini ia benar-benar jadi menantu Kyai. Santri-santri memanggil dengan gelar
‘Gus Malik’. Gus yang selalu tepat waktu datang ke masjid setiap hari Jum’at.
Gus Malik telah menerima pemberian hadiah istimewa yang diucapkan kyainya,
hadiah istimewa itu berupa istri cantik yang hafal Al Qur’an serta kitab alfiyyah
ibnu malik, Neng Ziyah. Waktu terus berjalan, hubungan rumah tangga Gus
Malik dan Ning Ziyah dikarunia putra lakilaki; Jakfar. Namun satu bulan
kemudian Kiai itu pergi menghadap Yang Maha Kuasa. Duka mendalam dirasakan
seluruh santri dan warga desa Joyoboyo. Sesuai wasiatnya, Pondok Bambu Runcing
diasuh oleh Gus yang konon mampu mendatangkan angin. Juga bisa menghilang ke dalam
kegelapan malam berkat mantra sakti, bait-bait Al Fiyah Ibnu Malik Al
Andalusi.
***
“Paham!!!
Semoga apa yang kalian dengar dalam dongeng ini bisa membakar semangat untuk
menghafal nadlam al fiyyah yang akan kalian hadapi esok,” suara Kiai
Abdus Salam menutup
dongengnya. Dongeng yang ia
maksudkan sebagai suntikan motivasi bagi para santri yang
pagi itu sedang mengikuti
pembukaan pembelajaran alfiyyah Ibnu Malik di Aula pesantren.
“Wassalamualaikum
Warohmatullahi Wabarokatuh” Kiai
Abdus Salam mengakhiri dongeng yang ia sampaikan di hadapan santri kelas satu
aliyah Pondok Pesantren Mambaus Sholihin.
Gresik, 2013
Tentang Penulis : Agus Ibrahim lahir 10 Desember 1990 di
desa Sambungrejo, Rengel, Tuban Jawa Timur. Putra pertama dari pasangan H.
Syuhada’ dan Hj. Siti Romadlonah. Ia menempuh pendidikan dasar di MI Mambaul Islam
Losari Soko Tuban (lulus 2003), MTs Mambaus Sholihin Suci Gresik (lulus 2006),
MAK Mambaus Sholihin (lulus 2009). Setamat MAK, ia masuk Fakultas Syari‘ah
Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah di Institut Keislaman Abdullah Faqih (INKAFA) Suci Manyar Gresik
(Lulus 2013).
Dalam organisasi ia pernah menjadi Sekretaris OSIS MA
Mambaus Sholihin periode 2008-2009, anggota Departemen Bahasa Arab periode
2009- 2010, Sekretaris Pusat OSPMS Pondok Putra Mambaus Sholihin periode
2010-2011. Di bidang Jurnalistik ia pernah menjadi Redaktur dan Lay Outer Majalah
AL-FIKRAH mulai 2007 sampai 2011. Ia juga pendiri dan pimpinan umum Koran
Mambast Pos sejak 2010 hingga sekarang. Ia juga mengajar Fiqih di Madrasah Diniyah Putra
Mambaus Sholihin sejak 2011- sekarang, staf pengajar kursus Bahasa Arab, dan
guru Bidang Studi PPKn di MTs Mambaus Sholihin hingga saat ini. Ia menyukai
dunia tulis menulis sejak kecil, dan buku ‘Lalat dari Jerman’ ini adalah
karya perdananya. Penulis yang sedang menyelesaikan novel ini sekarang masih
tinggal di Pon.Pes. Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik. Kritik dan saran bisa
dikirim di nomor 085731313185.
0 komentar:
Posting Komentar