468x60 Ads

ATM dan Pengemis Tua. Cerpen Keempat Belas dalam Buku Kumpulan Cerpen Lalat dari Jerman










ATM dan Pengemis Tua
Guru ngaji gajinya seperti tak bergaji, mending melamar jadi guru Negeri’, ungkapan yang menyayat hati, tapi seperti angin lalu bagi Ustadz Fajar. Begitulah, gaji guru ngaji memang tak sebesar gaji seorang guru Negeri yang saking banyaknya kadang membikin ngeri. Tapi bagi orang seperti dirinya besarnya gaji bukanlah segalanya. Yang terpenting adalah mengajar anak mengaji kemudian bisa diamalkan itu sudah menjadi pelajaran luar biasa bagi Ustadz Fajar. Yang jauh lebih utama adalah gaji dari Allah yang kelak diterima di akhirat.
“Ayo ulangi, kalau pendek dibaca pendek, Nang!” suara penuh kesabaran Ustadz Fajar ketika mengajar Anang belajar membaca al Qur’an di Mushola perumahan Griya Asri.
“Man Aaamaaanaaa,” lafad yang diucap Anang menyalahi kaidah panjang-pendek bacaan al-Quran.
“Man Aamana,” Ustadz Fajar membenarkan.
Itulah kebiasaan Ustadz Fajar usai sholat maghrib di mushola. Setelah mengaji dan berjamaah sholat Isya’, ada kultum yang biasa ia sampaikan. Para anak di perumahan penuh hikmat mendengarkan petuah-petuah ustadz muda itu.
“Yadul ulya khoirun minal yadis sufla. Artinya ‘Tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah. Orang yang memberi itu lebih baik dari pada orang yang meminta. Adik-adik diusahakan memperbanyak shodaqoh. Shodaqoh itu dapat menolak musibah, dapat menggampangkan rizqi. Orang yang shodaqoh pasti akan dibalas kontan oleh Allah, baik langsung di dunia maupun di akhirat. Paham....?” ujar ustadz Fajar dalam kultumnya.
Kultum itu sebagai penutup kegiatan mengaji. Ibu-ibu yang kebanyakan tinggal di rumah perumahan Griya Asri sudah menunggu anaknya pulang. Usai mencium tangan Ust. Fajar anak-anak keluar dan menemui orangtuanya masing-masing.
“Ustadz, ini ada sedikit rizqi dari suami buat sampean,” Bu Mida menyerahkan amplop berisi uang kepada Ustad Fajar.
“Tidak usah, Bu, buat anak ibu atau buat membeli sayur saja,” Ustadz Fajar berusaha menolak amplop itu.
“Terima saja Ustadz. Tidak apa-apa” Bu Mida memaksa.
Dengan agak malu uang itu pun diterima Ustadz Fajar.
***
SETELAH shalat subuh, Ustadz Fajar mengisi ceramah di mushola perum. Griya Asri secara bergiliran. Dan di suatu hari Jum’at, isi ceramahnya membahas tentang kemuliaan hari jum‘at, yang sering dikatakan sebagai sayyidu al ayyam. Gaya ceramahnya renyah, terkadang diselingi humor. Dalam setiap pembicaraan Ustadz Fajar sering mengatakan ‘Islam itu indah’. Hal itu agaknya merupakan ciri khasnya.
Matahari mulai merangkak, dan kultum telah diakhiri dengan doa. Para warga mulai
meninggalkan musolla. Satu dua orang bahkan memasukkan amplop ke dalam saku Ustadz Fajar. Ada tiga buah amplop yang dia terima. Isi keseluruhannya tak kurang dari tujuh ratus ribu rupiah. Uang tersebut tidak ia makan sendiri, sebagian dia masukkan ke kotak amal. Ada juga yang dia tabung di bank dan dia pergunakan sebagai modal membeli kambing untuk digembalakan orang lain. Biasanya, setelah dia memperoleh rizki maka sebagian dari rizki tersebut ia belanjakan untuk kepentingan orang banyak. Seakan uang tersebut hanya mampir sebentar di tangannya.
Seiring berlalunya waktu, uang yang ada di tabungannya semakin bertambah. Bisa jadi sudah cukup untuk berangkat haji. Namun ia tetap menyimpan uang itu di bank. Jika ada keperluan mendesak maka ia akan pergi ke mesin ATM terdekat untuk mengambil sebagian uangnya. Sekedar untuk memenuhi keperluan itu. Seperti saat ini, ketika dirinya harus membayar uang kontrak rumah yang ia tempati. Ia pun menuju ke mesin ATM.  
“Nak, Mbah minta sedekahnya...,” ucap seorang pengemis tua sambil menengadahkan tangan. Sesaat setelah dirinya keluar dari ruangan ATM.
Sebenarnyalah ia merasa terketuk hatinya, tapi dirinya masih sangsi. Ah, pengemis ini pandai juga. Untuk mendapatkan uang ia berada di tempat yang tepat, katanya pada diri sendiri. Ia lalu mencari uang recehan di dalam saku bajunya, tapi dia tidak menemukan.
“Maaf, Mbah. Mungkin lain kali kalau saya ke sini lagi.” Katanya sambil menahan rasa malu di dasar hatinya. Selama ini dirinya getol menjelaskan tentang keutamaan sedekah, infaq dan sebagainya. Namun ketika dirinya berhadapan dengan situasi yang mengharuskan
dirinya untuk melaksanakan apa yang sering ia jelaskan dia justru tidak mampu. Dirinya malah memberikan alasan dan pembenaran terhadap kelemahannya.
Sekembalinya dari mesin ATM, Ustadz Fajar langsung memberikan uang sewa rumah kepada pemiliknya.
“Ini uang sewa rumah sampai dua tahun ke depan”
 “Ya, saya terima.” Ucap lelaki pemilik rumah
“O ya,” lanjut lelaki itu “Nak Fajar ini aslinya orang mana?”
“Sumatera, Pak,” jawabnya
“Kok bisa sampai ke pulau Jawa ini. bagaimana ceritanya?”
“Sebenarnya saya datang ke Jawa ini untuk mencari ibu saya, Pak. Dan sebelum saya menemukan ibu saya maka saya mengisi hari-hari dengan mengajar membaca Al Qur`an di sebuah perumahan.”
“Kok ibumu sampai hati meninggalkanmu ke Jawa, bagaimana ceritanya?”
“Ceritanya panjang, Pak. Dulu sebelum ibu saya menikah untuk yang kedua kalinya, setelah ayah saya meninggal, beliau diajak si Mbah merantau ke Sumatera. Setelah di Sumatera beliau menikah lagi dengan seorang lelaki duda yang kaya. Ibu saya itu orang miskin, Pak. Tapi katanya meskipun sudah menjadi istri orang kaya tetap saja merasa tidak bahagia. Lalu...”
“Sudahlah,” potong lelaki pemilik rumah
“tidak usah diteruskan ceritanya. Saya takut terlalu dalam mencampuri urusan keluargamu.” Ustadz Fajar pun berhenti.
“O ya, Nak. Kalau kau tidak sibuk bisakah saya meminta pertolonganmu? Misalnya saja membantu saya mengurusi ini dan itu.?”
“Dengan senang hati, Pak.” Katanya bersemangat.
Setelah agak lama bercakap-cakap, Ustadz Fajar mohon diri. Lelaki pemilik rumah itu
membuntuti pemuda yang menyewa rumahnya tersebut dengan tatapannya. Sebuah tatapan yang sedikit banyak menyiratkan rasa iba. “Ah, kasihan nasib pemuda itu. Dia ditinggal pergi ibu kandungnya. Semoga saja dia cepat menemukan ibunya” kata lelaki itu pada diri sendiri.
***
SUATU ketika Ustadz Fajar kembali datang ke lokasi mesin ATM. Sekadar mengecek saldo tabungannya. Betapa kaget dirinya ketika keluar dari ruangan. Perempuan tua yang kemarin dia beri janji akan dia kasih uang ada di tempat itu lagi. Dan karena suatu sebab, Ustadz Fajar tetap tidak memberinya uang.
“Mbah, lain kali saja. Nanti pasti akan saya beri,” ucapnya sambil melangkahkan kaki
meninggalkan tempat itu.
Suatu hari dirinya nekad. Dengan berbekal uang dua ratus ribu rupiah dia kembali pergi ke lokasi mesin ATM. Telah berulangkali dirinya menyodorkan janji pada pengemis tua. Dan hal itu seperti tumpukan hutang yang harus segera dia lunasi. Awalnya dia memang merasa berat, tapi ia pada akhirnya nekad. Namun apa yang dia temui di lokasi itu sungguh di luar dugaannya. Tempat itu berubah menjadi sepi. Tidak seperti biasanya. Dia juga tidak menemukan nenek pengemis yang ingin ia temui. Perempuan tua yang telah beberapa kali
menerima pemberian janjinya. Untuk mengetahui kemana perginya pengemis itu, Ustadz Fajar nekad bertanya pada seorang lelaki Tukang sapu.
“Ya Mas. Baru saja nenek yang sering mengemis di sini dibawa mobil satpol PP. Ada
penertiban dan razia orang gila serta pengemis. nenek itu ikut dibawa. Mungkin karena
banyaknya laporan warga perumahan yang merasa terganggu dengan menjamurnya para
pengemis di tempat umum, termasuk lokasi mesin ATM.”
Ustadz Fajar masih diam, si Tukang sapu melanjutkan “Ya, bagaimana tidak terganggu? Kadang orang yang pergi ke ATM tidak membawa uang recehan. Mustahil juga memberi para pengemis itu pecahan lima puluh ribu atau seratus ribu. Malah ada yang datang sekedar mengecek saldo atau transaksi lain. Tidak mesti mengambil uang lah.” Ustadz Fajar kemudian meninggalkan tempat itu. Hatinya dipenuhi sesal. Pikirannya akan terus terbebani sebab nenek pengemis itu tidak akan dilihatnya lagi. Ia lalu kembali dengan membawa segenggam hutang pada si pengemis tua.
                                                                                                          Gresik, 2013

Tentang Penulis : Agus Ibrahim lahir 10 Desember 1990 di desa Sambungrejo, Rengel, Tuban Jawa Timur. Putra pertama dari pasangan H. Syuhada’ dan Hj. Siti Romadlonah. Ia menempuh pendidikan dasar di MI Mambaul Islam Losari Soko Tuban (lulus 2003), MTs Mambaus Sholihin Suci Gresik (lulus 2006), MAK Mambaus Sholihin (lulus 2009). Setamat MAK, ia masuk Fakultas Syari‘ah Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah di Institut Keislaman Abdullah Faqih (INKAFA) Suci Manyar Gresik (Lulus 2013).


          Dalam organisasi ia pernah menjadi Sekretaris OSIS MA Mambaus Sholihin periode 2008-2009, anggota Departemen Bahasa Arab periode 2009- 2010, Sekretaris Pusat OSPMS Pondok Putra Mambaus Sholihin periode 2010-2011. Di bidang Jurnalistik ia pernah menjadi Redaktur dan Lay Outer Majalah AL-FIKRAH mulai 2007 sampai 2011. Ia juga pendiri dan pimpinan umum Koran Mambast Pos sejak 2010 hingga sekarang. Ia juga mengajar Fiqih di Madrasah Diniyah Putra Mambaus Sholihin sejak 2011- sekarang, staf pengajar kursus Bahasa Arab, dan guru Bidang Studi PPKn di MTs Mambaus Sholihin hingga saat ini. Ia menyukai dunia tulis menulis sejak kecil, dan buku ‘Lalat dari Jerman’ ini adalah karya perdananya. Penulis yang sedang menyelesaikan novel ini sekarang masih tinggal di Pon.Pes. Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik. Kritik dan saran bisa dikirim di nomor 085731313185.



0 komentar:

Posting Komentar