Hikayat Santri Suci
Ghofur
sedang duduk di dalam kereta api jurusan Semarang. Kakinya menginjak plastik-plastik
sampah yang berserakan di dalam kereta. Duduknya ditemani seorang yang tak
dikenal, sama-sama penumpang jurusan Semarang Jawa Tengah.
“Mas
mau kemana?” tanya Ghofur pada orang samping duduknya.
“Mau
ke Semarang.” Jawab orang belum dikenal sebelumnya.
“Kok
sama, memangnya mas asli orang mana?” tanya Ghofur kembali.
“Saya
asli Gajah Mungkur Semarang, tapi sekarang sudah tinggal di Gresik.” Jawab
laki-laki berpeci di sampingnya.
“Mas,
sampean kelihatannya santri?” tanya Ghofur.
“Ya
Mas, saya santri pondok Suci Gresik.”
“Sama mas. Saya juga santri, tapi bukan santri
pondok di Gresik, tapi pondok Benowo Surabaya.” Jawab Ghofur.
“Namaku
Ghofur, asli Gayamsari Semarang. Kalau sampean?”
“Saya
Albab, asli Petompon Gajah Mungkur Semarang.” Perkenalan singkat santri beda pondok
itu sudah tampak akrab. Hingga Ghofur tertarik dengan pondok yang diceritakan
oleh Albab.
“Mas
Albab, aku boleh nitip adikku mondok di pondok sampean.? Karena aku tidak ingin
adikku mondoknya sama dalam satu pondok denganku.” Ucap Ghofur.
“Silahkan
mas, malah aku senang mendengarnya. Biar persahabatan kita semakin
erat kalau adik sampean jadi
santri satu pondok denganku. Ini nomor telponku, tolong dicatat ya: 085745927586.”
“Ok,
saya hubungi kalau sudah sampai rumah.” Ucap Ghofur semangat.
Perjalanan liburan dua santri
dalam kereta KRD itu akan mengikat kuat dalam sebuah
persahabatan. Adik Ghofur
akan dititipkan mondok bersama Albab di Pondok Suci Gresik.
***
“Assalamualaikum,”
Ghofur baru
saja sampai rumah, hatinya senang. Liburan panjang di rumah akan diisi dengan
kegiatan positif, sesuai jadwal yang tertulis dalam catatan hariannya. Setiap
hari menjadi muadzin Sholat 5 waktu di langgar desanya, menyapu masjid tiap
sebelum Maghrib, mengunjungi rumah tetangga, menziarahi makam keluarga,
menggantikan bapaknya dalam Tahlil rutinan desa dan membantu pekerjaan orangtua
bertani. Itulah cacatan yang sudah rapi ditulis di buku kecil sebelum
liburan tiba.
“Berangkat
dari pondok Jam berapa Fur?.” Tanya Ibunya.
“Jam
tujuh, Bu. Tadi agak lama karena mampir di warung bersama kenalan. Anaknya juga
seorang santri. Santri pondok Suci Gresik.” Jawab Ghofur sambil mencium tangan
ibunya.
“Ayo
mandi dulu, nanti malam ikut tahlil di rumah Pak De Kholik. Bapak lagi gak enak
badan.” Katanya.
“Enggeh
Buk,”
“Oh
ya, Adik mana Buk?” tanya Ghofur seraya melepas baju hem biru kotak-kotak.
“Adik
lagi masak di dapur, kebiasaan adikmu sekarang berubah total. Nakalnya hilang,
sekarang ganti suka masak.”. Ghofur tersenyum saat mendengar adiknya
telah berubah.
***
MALAM
usai ikut Tahlilan di rumah Pak De Kholik, Ghofur duduk di depan rumah ditemani
Ibu dan adiknya. “Buk, aku
punya kenalan santri mondok di Gresik. Aku ingin Dek Zaki dipondokkan di sana saja,
biar ada bedanya. Masak adik-kakak hidup satu pondok.”
“Gimana
Zak, Kakakmu benar. Ibu ingin ada perbedaan, antara kakakmu mondok di Benowo dan
antara kamu mondok di Gresik. Gresik mana tadi....?” tanya Ibu.
“Pondok
Suci Buk.” Jawab Ghofur.
“Aku
terserah ibu dan Kakak aja,” Jawab Zaki.
“Betul
dek. Pokoknya nanti kalau di sana sampean akan dibimbing oleh kenalan kakak waktu
di kereta, namanya Albab.”
Zaki mengangguk. “Dek, selama
di pondok Suci harus jadi santri yang dibutuhkan, jangan
nganggur. Khoirun An Nas
anfa’uhum Li An Nas.” Nasehat kakaknya.
Zaki kembali mengangguk.
“Ya
udah, barang-barangmu persiapkan, besok hari Rabu kakak antarkan.”
Zaki kembali mengangguk,
tanpa berkata.
***
Di
pagi buta, Zaki sudah berada di belakang rumahnya. Ia menatap kandang ayam,
tanaman, dan kolam ikan hias miliknya. Sesekali ia pandangi juga panorama
langit di atas atap rumahnya. Zaki mau mengucapkan perpisahan, ia akan pergi menuntut
ilmu di Pondok Suci Gresik. Barangbarangnya sudah rapi ditata dalam kerdus
bekas obat nyamuk baygon.
Pukul 08.00 pagi, Zaki dan
Ghofur berangkat menuju Gresik Jawa Timur. Ibunya tak sempat
ngasih sangu banyak, hanya seratus ribu
ditambah nasi lima bungkus buat teman-teman barunya saat sampai pondok.
Perjalanan
jauh dari Jawa Tengah hingga Jawa timur Gresik telah lewat. Kini adik-kakak
sudah ada di lampu merah terminal Bunder Gresik. Sebuah mobil angkot warna
orange berhenti di depan mushola kecil di samping jalan.
“Ayo,
Suci, Suci....” teriak Sopir Len.
“Dek
ayo, itu mobil jurusan Suci.” Ajak Ghofur tanpa pikir panjang. Keduanya
langsung naik mobil.
Mobil berjalan pelan, sambil
mencari penumpang lain. Adik-kakak ini sangat menikmati tambak ikan samping
jalan yang membentang luas. “Dek sebentar lagi sampai, kata Albab jarak Bunder
ke Suci tak jauh.”
“Pak
Kiri, Pak turun sini.” Ghofur memberhentikan mobil, lalu membayar 5000,
untuk dua orang. Pakaiannya
rapi, kopyahnya agak penceng. Dia tampak bangga melihat gapura dan menatap
tajam.
“Dek kita sudah sampai depan pondok. Kakak harap,
kamu harus jadi santri yang sungguh-sungguh.” Zaki mendengar pesan kakaknya, mantap
dengan tersenyum.
“Ayo
kak kita Daftar,” ajak Zaki.
Sebuah Gapura berdiri di kiri
jalan bertuliskan ‘Pondok Permata Suci’. Kakak beradik yang baru pertama
menginjakkan kaki di Gresik ini langsung mendekati gapura lalu memasukinya.
Keduanya berjalan ke arah perumahan yang mereka kira pondok tempat Albab
menimba ilmu. Keduanya menoleh kesana kemari lalu mendekati Indomaret.
“Dek,
pondok Suci ternyata maju ya. Pondoknya luas dan banyak bangunan mewah.
Malah ada mini market
segala.”
“Pak
di mana tempat pendaftaran santri baru?” Tanya Ghofur pada orang lewat yang
berpakaian putih dan
bersarung.
“Maksudnya
Pondok Pesantren di desa Suci?” tanya kembali orang yang gagah berpeci putih
itu.
“Kalo
di Suci ada dua mas, yang mana?”
“Pokoknya
kata temanku pondok itu memperdalam dua bahasa. Temanku namanya
Albab.” Kata Ghofur sungkan,
kakak Zaki salah masuk; salah masuk di perumahan PPS.
“O,
Albab. Itu satu pondok dengan saya, kebetulan dia juga sekretaris saya. Ayo
langsung ikut saya ke pondok. Tapi tunggu dulu ya, saya mau ambil banner hasil
digital printing di Zee Printing.”
Tak lama, Ghofur dan Zaki
naik Len lagi dari PPS menuju Pondok. Hatinya bahagia, matanya
berbinar terang melihat
bangunan aula pondok yang tinggi, melihat pondok lantai tiga dan
kagum-kagum melihat Masjid
dalam pondok.
“Dek
Masjid itu besar sekali ya?” kata Ghofur tanpa tahu kalau itu hanya Mushola.
“Ayo
mas masuk,” Ghofur melihat Albab dalam kantor pendaftaran itu, ia sangat
senang. “Lho berarti sampean sekretaris penerimaan santri baru?” tanya Ghofur
ketika duduk di kantor pondok.
“Oh,
ya Fur. Kamu Baru nyampek? Berangkat jam berapa? Gampang kan alamat pondok
ini?” tanya Albab.
“Bab,
tadi saya kebetulan ketemu mereka berdua yang nyasar di Pondok Permata Suci
(PPS) saat ambil Banner dekor panggung buat acara penyambutan Habib dari
Yaman.” Sahut Rois am.
“Lho
kok bisa nyasar di PPS, hahaha....” Albab tak bisa menahan tawanya.
“Namanya
juga baru pertama kali.”
“Ini
katanya temanmu?” tanya Rois Amm.
“Ya,
Pak. Teman saya saat di kereta api.” Jawab Albab.
“Fur, ini yang ngajak sampean ke sini
Rois Amm, ketua pondok loh.” Kata Albab
memperkenalkan Rois Amm. Ghofur
dan Zaki tersenyum malu. Hari itu juga Zaki diterima di pondok Suci. Pondok dua
bahasa. “Zak, kakak akan pulang dulu. Akhir bulan ini kakak akan kembali ke pondok
Benowo.” Ghofur pamit dengan adiknya, dengan Rois ‘Amm dan juga
merangkul Albab dengan berbisik. “Bab, tolong jaga adikku, jangan sampai ia
nganggur di pondok.” Pesan akhir yang terucap dari bibir Ghofur sebelum
meninggalkan kantor pusat.
***
HARI-HARI
pertama di pondok itu Zaki merasa asing. Tak seperti kebiasaanya saat berada di
rumah. Ia merasa agak kaget dan kecapekan saat mengikuti pembacaan wirid habis
sholat yang begitu panjang.
Lama-lama
ia merasa tidak krasan (betah). Baru satu minggu tapi ia sudah ingin
pulang. Ia kangen ibu, ayam jago, ikan hias dan panorama alam di desanya. Di
setiap sore menjelang maghrib pasti termenung membayangkan ibunya. Hampir
setiap sore, harapannya ingin sekali bertemu ibunya, dan Tuhan mendengar
doanya.
Di pagi hari sebelum Zaki berangkat sekolah,
tanpa ada pemberitahuan lewat surat maupun telpon. Ibu dan kerabatnya datang ke
Pondok Suci. Zaki gembira bukan main, rasa rindunya telah terobati, ia peluk
ibunya, ia salami Pak De-nya. Zaki tak tahu ketetapan Tuhan yang sangat
misteri, kedatangan ibunya
bukan untuk membalas kerinduaan, melainkan untuk mengajak
Zaki pulang. Karena ada kabar
duka dari keluarga yang tak diduga. Ghofur, kakak kandung Zaki yang mondok di
Benowo telah pulang ke hadirat Yang Maha Kuasa. Ia meninggal lantaran penyakit Maag
akut dan penyakit yang disebabkan terlalu banyak mengkonsumsi makanan instant
yang kadang mengandung bahan pengawet berbahaya.
Gresik, 2013
Tentang Penulis : Agus Ibrahim lahir 10 Desember 1990 di
desa Sambungrejo, Rengel, Tuban Jawa Timur. Putra pertama dari pasangan H.
Syuhada’ dan Hj. Siti Romadlonah. Ia menempuh pendidikan dasar di MI Mambaul Islam
Losari Soko Tuban (lulus 2003), MTs Mambaus Sholihin Suci Gresik (lulus 2006),
MAK Mambaus Sholihin (lulus 2009). Setamat MAK, ia masuk Fakultas Syari‘ah
Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah di Institut Keislaman Abdullah Faqih (INKAFA) Suci Manyar Gresik
(Lulus 2013).
Dalam organisasi ia pernah menjadi Sekretaris OSIS MA
Mambaus Sholihin periode 2008-2009, anggota Departemen Bahasa Arab periode
2009- 2010, Sekretaris Pusat OSPMS Pondok Putra Mambaus Sholihin periode
2010-2011. Di bidang Jurnalistik ia pernah menjadi Redaktur dan Lay Outer Majalah
AL-FIKRAH mulai 2007 sampai 2011. Ia juga pendiri dan pimpinan umum Koran
Mambast Pos sejak 2010 hingga sekarang. Ia juga mengajar Fiqih di Madrasah Diniyah Putra
Mambaus Sholihin sejak 2011- sekarang, staf pengajar kursus Bahasa Arab, dan
guru Bidang Studi PPKn di MTs Mambaus Sholihin hingga saat ini. Ia menyukai
dunia tulis menulis sejak kecil, dan buku ‘Lalat dari Jerman’ ini adalah
karya perdananya. Penulis yang sedang menyelesaikan novel ini sekarang masih
tinggal di Pon.Pes. Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik. Kritik dan saran bisa
dikirim di nomor 085731313185.
1 komentar:
Mantap http://novelsemprot.rf.gd
Posting Komentar